ADA APA DENGAN HIMAS ?
Membedah Akar Masalah Di Balik Kemandulan Gerakan Himas (Menyambut MILAD HIMAS Ke-11) 
Oleh: Muarif 
(Mantan Ketua Umum HIMAS periode 2009-2011)

Membincang HIMAS kalau boleh saya bilang masih menjadi topic hangat yang tidak pernah tiada habisnya (tapi mungkin juga bagi sebagian orang merupakan topic yang sudah "basi"). Orang-orang yang terlibat di dalam perbincangan pun tidak terbatas di internal anggota HIMAS saja. Tetapi juga kalangan luar HIMAS banyak menyoroti. Secara sederhana, sorotan dan reaksi itu bisa diterjemahkan ke dalam dua bentuk yakni antara antusiasme dan rasa sinis. Bagi Golongan sinis, tidak jarang cacian dan cemoohan yang sering dialamatkan kepada HIMAS; apa yang sudah diperbuat oleh HIMAS untuk kepulauan? atau jangan-jangan gerakan HIMAS hanya pepesan kosong dan mengawang-awang? Dan seterusnya itu. Namun tidak sedikit pula yang menaruh harapan besar dan menanti arah perubahan dari organisasi mahasiswa kepulauan ini. Mereka adalah para kalangan baik yang sekedar simpati maupun yang apresiatif. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab generasi muda, terlebih mahasiswa (baca: mahasiswa) adalah aset bagi terciptanya sebuah tatanan baru. Energik dan potensial.
Sebagaimana sudah diketahui bersama, HIMAS telah memasuki kurun waktu kurang lebih 10 tahun. Bahwa usia sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi suatu organisasi. Masa 10 tahun adalah masa-masa mengembangkan sayapnya. Tapi ironis, HIMAS seolah-olah tidak beranjak dari tempatnya (untuk tidak mengatakan terjadi kemunduran, atau bahkan mati). Karena itu, saya mengajak mari kita evaluasi bersama apa sebenarnya yang terjadi dengan HIMAS? Atau lebih tepatnya; Ada apa dengan HIMAS? Jika ditelisik lebih jauh, ada pertanyaan yang jawabannya masih tersimpan di balik kabut misteri; kenapa keberadaan HIMAS masih dipersoalkan? Apakah kelahiran HIMAS tidak diinginkan? Kenapa sampai di usia 10 tahun HIMAS masih belum juga beranjak dari tempatnya? Apa sebenarnya yang menjadi penyebab di balik kemandulan organisasi mahasiswa ini? Untuk membedah akar persoalan ini, saya mencoba mendekatinya dari dua aspek; factor internal dan factor eksternal. 
Pertama, factor internal. Factor internal ini jelas datangnya dari HIMAS sendiri. Secara kelembagaan organisasi, HIMAS masih belum memiliki perangkat system organisasi yang memadai, struktur yang masih belum dibenahi, konsolidasi yang masih lemah, belum menemukan format kaderisasi yang cocok, dan lain sebagainya. Akibat dari semua itu, dampaknya kepada kinerja dan kerja yang tidak optimal, serta arah kebijakan yang tidak jelas. Factor-faktor tersebut di atas barangkali patut menjadi bahan evaluasi yang segera dicarikan solusinya oleh para anggota HIMAS. Sebab, jika hal ini dibiarkan akan memperlambat gerak laju organisasi. Kalaupun HIMAS ada program, itu sifatnya seremonial, reaksioner dan sifatnya dadakan (seperti acara kongres, dan lain sebagainya) Sebagai orang yang terlibat aktif, bahkan pernah mencicipi pucuk pimpinan tertinggi di HIMAS Pusat, saya telah merasakan pahit-getirnya bagaimana memimpin HIMAS. Di tengah kondisi yang demikian itu (saya menyebutnya sebagai masa transisi). Masa transisi adalah masa yang tidak mengenakkan, karena selalu cenderung dalam ketidak pastian.
Kedua, factor eksternal. Factor eksternal di sini maksudnya adalah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar yang turut serta ikut memberikan citra buruk terhadap HIMAS. Jadi, ada upaya secara sengaja ataupun tidak sengaja (karena factor ketidak-tahuan) yang dimainkan oleh kalangan tertentu baik dari kalangan agamawan, politisi, dan lain-lain yang ingin merusak HIMAS dari luar, dengan alasan yang tidak masuk akal dan cenderung "kekanak-kanakan". Misalnya, apakah karena lantaran terjadi perbedaan pemikiran, pendapat, pemahaman, ideology, metodologi, konsep, dan lain-lain, lantas seseorang dengan mudahnya menuduh anggota-anggota HIMAS dengan tuduhan murtad, kafir, dan stigma negatif teologis lainnya? Ketidak mampuan menyikapi pluralitas dan perbedaan paham atau pemikiran seperti inilah yang sering melahirkan sikap merasa paling benar sendiri, radikalisme, dan anarkisme. Tindakan represif dan teror atas pemikiran sebenarnya merupakan dalang di balik ketidak mampuan kita untuk berpikir kritis dan tajam mengenai problem-problem penting yang sedang kita hadapi saat ini. Teror tersebut merupakan penyebab utama dari kemandulan untuk berpikir obyektif. Retorika semu dan tuduhan-tuduhan keji itu tidak akan membawa kita mencapai kebenaran dan saling pengertian. Karena itu, saya setuju dengan ajakan untuk melawan sikap sekelompok orang yang dengan semena-mena sering mengkafirkan orang lain. Sikap mereka itu menodai citra inklusif agama islam. Mereka menyangka bahwa mereka adalah pengawal-pengawal agama islam, padahal sesungguhnya merekalah yang justru mencemarkan nama baik agama dan nama baik mereka sendiri: "mereka telah mengira bahwa merekalah yang melakukan kebaikan". (Qs. Al-Kahfi: 104). Suatu potret menyakitkan. Akan tetapi harus diwaspadai bahwa kita sedang berada di satu persimpangan berbahaya yang sangat menentukan arah nasib bangsa ini menjadi ada atau tiada. Satu bangsa yang memasung dan membuang putera-putera inovatifnya. Akibatnya, terbukalah jalan bagi para tukang ceramah yang menyesatkan dan berusaha mengubah masyarakat menjadi demagog-demagog yang membunuh pemikiran dan kaum intelektual. Memang bukan satu tugas yang mudah. Melakukan tugas di tengah-tengah iklim yang tidak kondusif merupakan pekerjaan sulit dengan segala ukurannya. Sebab bisa dipastikan bahwa pekerjaan tersebut akan mengusik kaum agamawan yang picik dan rigid. Kaum agamawan juga sering mengeksploitasi kebodohan masyarakat awam untuk kepentingan sepihak. Tawaran Solusi Supaya apa yang saya paparkan di atas tidak dinilai hanya pandai melontarkan kritik, maka pada kesempatan ini saya ingin mengajukan beberapa solusi: pertama, sejak dideklarasikan oleh founthing father, HIMAS sudah mengikrarkan dirinya menjadi mitra masyarakat, dalam artian bahwa HIMAS adalah wadah aspirasi masyarakat kepulauan yang dibentuk oleh anak-anak kepulauan dengan tujuan transformasi sosial (melakukan upaya pencerdasan kepada masyarakat; baik dalam bidang politik, pendidikan, sosial, budaya, hukum, ekonomi, agama, dll). Secara internal, saya mengajak kepada mereka yang masih peduli dengan HIMAS, mari kita rawat HIMAS dengan sebaik-baiknya. HIMAS memiliki ribuan anggota yang memiliki kekayaan potensi. Akan lebih bermanfaat jika potensi itu dikerahkan dalam rangka pengabdian di tengah-tengah umat (Walaupun sebenarnya ukuran sukses dan jalur pengabdian itu tidak harus disalurkan melalui organisasi ini). Kepulauan sapeken menagih bakti kita kawan. Kedua, bagi kelompok orang yang sinis, jengkel, curiga, marah, dan lain-lain, terhadap HIMAS, mari berdamai dengan HIMAS. Saya pikir tidak ada alasan untuk memusuhi HIMAS hanya karena alasan berlawanan atau berbeda pemikiran. Bukankah lawan pendapat/pemikiran adalah kawan dalam berpikir? Dalam konteks fiqh, perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan; "barangsiapa yang tidak mengenal perbedaan, ia tidak akan mencium aroma fiqh". Zaman telah berlalu, posisi kemutlakan harus digantikan dengan cara pandang yang memberikan ruang bagi perbedaan antara manusia dalam melihat segala sesuatu. Sebab, bangsa yang dikendalikan oleh rasa takut tidak akan mampu untuk melanjutkan perjalanannya menuju kebangkitan. Karena itu saya yakin, dalam persepektif ini HIMAS tidaklah salah, apalagi sampai berdosa. Akhirnya, jika dalam tulisan ini kemungkinan terbuka pintu dialog, mari kita berdialog dengan cara yang sehat dan obyektif, tidak dilakukan saling menghakimi, apalagi sampai terjadi proses ke arah takfir (kafir-mengkafirkan).
Wallahu A'lam Bisshowab !!!!
Selamat dan sukses buat MILAD HIMAS ke-11

Tidak ada komentar: