Himas Mencari Pahlawan

HIMAS Mencari Pahlawan
Menuju Narasi Baru dan Sosok Pemimpin Ideal
Oleh: Harsani Gharib

Dalam usianya yang ke supuluh tahun seharusnya HIMAS bisa unjuk gigi di tengah masyarakat, belum lagi dalam waktu yang dekat ini akan tiba hari MILAD yg ke-11, tentunya akan menimbulakn berjuta pertanyaan di antaranya, siapa pemimpin HIMAS yang sebenarnya, apa yang di lakukan HIMAS ? program apa yang di bawa oleh HIMAS,di mana HIMAS sekarang ? tentunya akan banyak lagi pertnyaan yang akan dilontarkan oleh orang-orang yang tau  tentang HIMAS. Saya pikir sudah saatnya HIMAS tampil ke hadapan dan bangun dari mimpinya, terlalu banyak mimpi yang telah di lahirkan oleh teman-teman HIMAS, persoalan yang di hadapi sekarang tidak bisa di selesaikan hanya dengan bermimpi masyarakat menanti bukti yang real dan langsung di rasakan.

Apa sebenarnya yang salah dengan HIMAS ? saya pikir HIMAS tidak pernah berbuat salah, yang salah hanyalah kepemimpinannya yang di pegang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dan kepengurusan yang hanya di jadikan sebagai sebuah symbol. Sudah waktunya HIMAS mencari pahlawan baru untuk menyelamatkan HIMAS dari gerbang ke hancuran, dengan melihat kondisi masyarakat kepulauan yang memprihatinkan, kemiskinan yang tidak di lirik oleh pemerintah setempat, korupsi merajalela yang di biarkan oleh pemerintah, lembaga pendidikan yang kurang di perhatikan membuat murid-murid kurang berkualitas dan banyak sekali persoalan yang seharusnya menjadi urusan bersama teman-teman HIMAS dan sekarang terabaikan.

Saya pikir sangat di butuhkan sekali sosok seorang pahlawan yang benar-benar ingin berjuang dan mempunyai semangat yang besar untuk membawa HIMAS lebih baik di internal dan berkarya di eksternalnya, seperti yang dikatakan saudara Mu’arif dalam tulisannya,bahwa HIMAS mempunyai dua factor yang sangat mempengaruhi perkembangannya yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Entah siapa yang akan menjadi pahlawan itu tidak penting yang penting dia mempunyai kemauan benar-benar ingin menjadi penyelamat dan pahlawan untuk HIMAS.

Saatnya HIMAS menuju sebuah narasi baru bukan dari titik kelemahannya tapi dari titik semangat kebangkitannya, untuk melanjutkan garis perjuangan yang telah lama di usung oleh teman-teman HIMAS terdahulu, langkah ini saya tekankan di tengah krisis kepemimpinan HIMAS dan kaderisasi, akan menjadi hal yang sangat luar biasa ketika HIMAS bisa membangkitkan semangat kepemimpinan bagi kadernya sehingga tidak terkesan kepemimpinan HIMAS hanyalah sebuah symbol dan tidak memberikan manfaat bagi seorang pemimpin itu sendiri dan menganggap mereka hanya di sibukkan oleh HIMAS dan sangat di butuhkan sekali kaderisasi untuk menambah SDM dalam badan HIMAS itu sendiri untuk upaya optimalisasi perjuangan HIMAS sehingga tidak ada lagi yang namanya krisis kepemimpinan.

Dalam upaya mencari seorang pahlawan untuk mengambil alih tampuk ke pemimpinan HIMAS tentunya bukan hal yang mudah karena ada kriteria yang harus di penuhi untuk menjadi pemimpin yang ideal di antaranya :                                                                                                                                                
  1. Memiliki Kepercayaan Diri untuk Memimpin
  2. Memiliki Integritas dan Komitmen
  3. Beretika
  4. Bersikap Adil
  5. Karismatik/Berwibawa
  6. Tidak Takut pada perubahan
  7. Berani Berkorban
  8. Disiplin
  9. Objektif dan Mampu Melihat dari Berbagai Sudut Pandang
  10. Proaktif   
apa yang membuat seorang pemimpin selalu di ikuti dan di taati oleh para pengikutnya ? Apakah yang membedakan pengikut dengan pemimpin ? jawabannya adalah pada kualitas dan karakter yang dimilikinya,  maka dari itu mencari seorang pemimpin ideal tidak semudah dengan apa yang selama ini di lakukan oleh temen-temen HIMAS ketika kongres pemilihan Pemimpin, yang seharusnya jauh sebelum kongres di adakan ada persyaratan yang harus di penuhi untuk menjadi seorang pemimpin, tapi... boro-boro persyaratan yang di ajukan yang mencalonkan saja sulit di cari, inilah yang  seharusnya di benahi dan menjadi bahan evaluasi semua teman-teman HIMAS.

Perlu diingat bahwa kualitas dan karakter pemimpin dapat dibentuk dan selalu berkembang setiap hari. Dengan kata lain, jika kamu dipercaya sebagai pemimpin…maka tidak ada alasan untuk menolak belajar dan selalu memperbaharui kualitas/karakter kepemimpinanmu setiap hari.

Alangkah indahnya jika Pemimpin sebagaimana matahari yang menyinari Bumi dan tak mengharap kembali seperti kutipan lagu ini “ Kasih Ibu Kepada Beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari Dunia”.  Bukan karena kemampuan finansial saja, melainkan betul-betul mampu mengabdikan dirinya untuk mensejahterakan masyarakat.

Tentunya Anda mempunyai perspektif yang berbeda, dan perbedaan tersebut mestinya akan menyempurnakan berbagai pandangan yang lain. Wallahu a’lam bissawab…..


KONSTITUSI HIMAS ANTARA ADA DAN TIADA 
Tanggapan Atas Polemik Pengangkatan Pimpinan HIMAS Pusat 
Oleh: Muarif
Ada beberapa hal (pandangan pribadi) yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini terutama dalam kaitannya dengan persoalan keputusan pengangkatan ketua umum baru HIMAS Pusat yang menuai kontroversi di internal organisasi sebagaimana yang saya ikuti perkembangannya di jejaring sosial sejak kemarin. Yang bisa saya tangkap dari seputar pro-kontra dari beberapa pemikiran kawan-kawan HIMAS di situ adalah terletak pada persoalan konstitusi atau AD/ART HIMAS. Ada keprihatinan yang dalam dari beberapa orang terhadap kondisi HIMAS hari ini, saya menyebut mereka itu adalah orang-orang yang masih punya komitmen terhadap organisasi, sekelompok orang yang masih punya kepedulian terhadap nasib HIMAS. Salah satu kondisi yang memprihatinkan itu adalah dampak terjadi kekosongan pimpinan HIMAS akibat sudah lama ditinggalkan oleh ketua terpilih, sehingga perlu melakukan tindakan penyelamatan dengan cara mendaulat atau menunjuk serta mengangkat pimpinan baru HIMAS Pusat. Jika dikatakan tindakan itu disebut tindakan penyelamatan organisasi, maka ini kali kedua. Pertama adalah KLB yang pernah saya gelar pada periode sebelumnya. Saya tertarik (dan memang menarik) jika kawan-kawan mendiskusikan tentang konstitusi HIMAS. Karena bagaimanapun konstitusi adalah aturan main yang harus dijalankan dan ditaati di dalam sebuah organisasi (sebagai landasan operasional). Yang membuat terasa tidak menarik lagi bagi saya pribadi dalam pewacanaan aturan main (AD/ART HIMAS) saat ini adalah karena kurang tepat, karena tidak pada waktu dan tempatnya. Seharusnya, pembicaraan seputar AD/ART HIMAS dibicarakan dan dibahas secara serius di forum tingkat tinggi organisasi (kongres). Yang ingin saya tanyakan, dan ini yang saya kritisi; kemana kawan-kawan pada saat itu? Karena itu, ironis jika pembahasan AD/ART HIMAS lebih serius dan semarak di jejaring sosial ketimbang di forum kongres. baca selengkapnya... Konstitusi wajib ditegakkan, saya yakin kita semua akan sepakat apabila konstitusi HIMAS ditegakkan. Tapi, adakah di antara kita saat ini yang benar-benar patuh pada konstitusi HIMAS? Jika kita mau jujur, semua anggota sampai alumni sekalipun telah melanggar konstitusi HIMAS. Salah satu contoh kecil misalnya, apa yang sudah dirumuskan dan diamanatkan dari kongres ke kongres tidak pernah direalisasikan. Bukankah ini termasuk bagian dari pelanggaran konsitusi? Lagi-lagi kita terjebak pada persoalan legalitas-formal dan penafsiran aturan main organisasi yang kaku, sebagaimana kita pernah melakukan uji materi dalam menafsirkan KLB ketika itu. Kita sebenarnya terlalu teoritis dalam memandang KLB (juga dalam pengangkatan ketua umum baru HIMAS saat ini), akibat kekakuan dalam menafsirkan pasal demi pasal, dampak buruknya lebih besar terhadap organisasi. Saya tidak bertujuan menegakkan konstitusi dengan cara menciderainya. Namun, dalam kasus ini kita perlu beranjak keluar dari cara penafsiran kaku, supaya kita lebih jernih dalam menilai keputusan pengangkatan pimpinan baru HIMAS. Saya pribadi sepakat dan mendukung atas ijtihad itu. Tentunya dengan beberapa catatan: pertama, mendapat dukungan dari beberapa pengurus wilayah paling tidak minimal 2/3 dari semua wilayah. Kedua, kadar kualitas organisasi (program, kinerja, prasaranan, dll) tidak boleh rendah dari priode sebelumnya. Apabila syarat ini terpenuhi, maka saudara Arsani Gharib ditetapkan sah menjadi pimpinan HIMAS pusat menggantikan ketua lama, tanpa harus menggelar KLB. Dengan kata lain, tidak efektif saat ini bila kontitusi diperdebatkan. Atas dasar argumentasi itu, sekiranya tidak ada alasan untuk menolak pemgangkatan saudara Arsani Gharib diangkat sebagai pimpinan baru HIMAS Pusat. Saya tidak ingin menambah panjang debat tebel dalam persoalan ini, saya hanya ingin mengatakan, jika ijtihad pengangkatan Arsani Gharib sebagai pimpinan baru HIMAS bisa dipahami dan diterima sebagai pijakan berpikir "menimbang maslahat dan mafsadat" bagi organisasi, maka menurut saya, ukuran maslahatnya tentu lebih besar ketimbang mafsadatnya. Apakah karena persoalan penafisiran kaku tentang aturan main organisasi lantas kemudian kita mengenyampingkan persoalan yang prinsipil; keselamatan organisasi (terlebih HIMAS) ? Semoga beberapa pandangan ini bisa memberikan solusi di tengah krisis kepemimpinan yang sudah lama melanda HIMAS. Tentunya bukan demi kepentingan dan kebaikan siapa, tetapi demi kepentingan dan kebaikan untuk semua. Semoga cita-cita itu tercapai kawan !!!! Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq Surabaya, 30 Januari 2012 Surabaya, 30 Januari 2012
ADA APA DENGAN HIMAS ?
Membedah Akar Masalah Di Balik Kemandulan Gerakan Himas (Menyambut MILAD HIMAS Ke-11) 
Oleh: Muarif 
(Mantan Ketua Umum HIMAS periode 2009-2011)

Membincang HIMAS kalau boleh saya bilang masih menjadi topic hangat yang tidak pernah tiada habisnya (tapi mungkin juga bagi sebagian orang merupakan topic yang sudah "basi"). Orang-orang yang terlibat di dalam perbincangan pun tidak terbatas di internal anggota HIMAS saja. Tetapi juga kalangan luar HIMAS banyak menyoroti. Secara sederhana, sorotan dan reaksi itu bisa diterjemahkan ke dalam dua bentuk yakni antara antusiasme dan rasa sinis. Bagi Golongan sinis, tidak jarang cacian dan cemoohan yang sering dialamatkan kepada HIMAS; apa yang sudah diperbuat oleh HIMAS untuk kepulauan? atau jangan-jangan gerakan HIMAS hanya pepesan kosong dan mengawang-awang? Dan seterusnya itu. Namun tidak sedikit pula yang menaruh harapan besar dan menanti arah perubahan dari organisasi mahasiswa kepulauan ini. Mereka adalah para kalangan baik yang sekedar simpati maupun yang apresiatif. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab generasi muda, terlebih mahasiswa (baca: mahasiswa) adalah aset bagi terciptanya sebuah tatanan baru. Energik dan potensial.
Sebagaimana sudah diketahui bersama, HIMAS telah memasuki kurun waktu kurang lebih 10 tahun. Bahwa usia sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi suatu organisasi. Masa 10 tahun adalah masa-masa mengembangkan sayapnya. Tapi ironis, HIMAS seolah-olah tidak beranjak dari tempatnya (untuk tidak mengatakan terjadi kemunduran, atau bahkan mati). Karena itu, saya mengajak mari kita evaluasi bersama apa sebenarnya yang terjadi dengan HIMAS? Atau lebih tepatnya; Ada apa dengan HIMAS? Jika ditelisik lebih jauh, ada pertanyaan yang jawabannya masih tersimpan di balik kabut misteri; kenapa keberadaan HIMAS masih dipersoalkan? Apakah kelahiran HIMAS tidak diinginkan? Kenapa sampai di usia 10 tahun HIMAS masih belum juga beranjak dari tempatnya? Apa sebenarnya yang menjadi penyebab di balik kemandulan organisasi mahasiswa ini? Untuk membedah akar persoalan ini, saya mencoba mendekatinya dari dua aspek; factor internal dan factor eksternal. 
Pertama, factor internal. Factor internal ini jelas datangnya dari HIMAS sendiri. Secara kelembagaan organisasi, HIMAS masih belum memiliki perangkat system organisasi yang memadai, struktur yang masih belum dibenahi, konsolidasi yang masih lemah, belum menemukan format kaderisasi yang cocok, dan lain sebagainya. Akibat dari semua itu, dampaknya kepada kinerja dan kerja yang tidak optimal, serta arah kebijakan yang tidak jelas. Factor-faktor tersebut di atas barangkali patut menjadi bahan evaluasi yang segera dicarikan solusinya oleh para anggota HIMAS. Sebab, jika hal ini dibiarkan akan memperlambat gerak laju organisasi. Kalaupun HIMAS ada program, itu sifatnya seremonial, reaksioner dan sifatnya dadakan (seperti acara kongres, dan lain sebagainya) Sebagai orang yang terlibat aktif, bahkan pernah mencicipi pucuk pimpinan tertinggi di HIMAS Pusat, saya telah merasakan pahit-getirnya bagaimana memimpin HIMAS. Di tengah kondisi yang demikian itu (saya menyebutnya sebagai masa transisi). Masa transisi adalah masa yang tidak mengenakkan, karena selalu cenderung dalam ketidak pastian.
Kedua, factor eksternal. Factor eksternal di sini maksudnya adalah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar yang turut serta ikut memberikan citra buruk terhadap HIMAS. Jadi, ada upaya secara sengaja ataupun tidak sengaja (karena factor ketidak-tahuan) yang dimainkan oleh kalangan tertentu baik dari kalangan agamawan, politisi, dan lain-lain yang ingin merusak HIMAS dari luar, dengan alasan yang tidak masuk akal dan cenderung "kekanak-kanakan". Misalnya, apakah karena lantaran terjadi perbedaan pemikiran, pendapat, pemahaman, ideology, metodologi, konsep, dan lain-lain, lantas seseorang dengan mudahnya menuduh anggota-anggota HIMAS dengan tuduhan murtad, kafir, dan stigma negatif teologis lainnya? Ketidak mampuan menyikapi pluralitas dan perbedaan paham atau pemikiran seperti inilah yang sering melahirkan sikap merasa paling benar sendiri, radikalisme, dan anarkisme. Tindakan represif dan teror atas pemikiran sebenarnya merupakan dalang di balik ketidak mampuan kita untuk berpikir kritis dan tajam mengenai problem-problem penting yang sedang kita hadapi saat ini. Teror tersebut merupakan penyebab utama dari kemandulan untuk berpikir obyektif. Retorika semu dan tuduhan-tuduhan keji itu tidak akan membawa kita mencapai kebenaran dan saling pengertian. Karena itu, saya setuju dengan ajakan untuk melawan sikap sekelompok orang yang dengan semena-mena sering mengkafirkan orang lain. Sikap mereka itu menodai citra inklusif agama islam. Mereka menyangka bahwa mereka adalah pengawal-pengawal agama islam, padahal sesungguhnya merekalah yang justru mencemarkan nama baik agama dan nama baik mereka sendiri: "mereka telah mengira bahwa merekalah yang melakukan kebaikan". (Qs. Al-Kahfi: 104). Suatu potret menyakitkan. Akan tetapi harus diwaspadai bahwa kita sedang berada di satu persimpangan berbahaya yang sangat menentukan arah nasib bangsa ini menjadi ada atau tiada. Satu bangsa yang memasung dan membuang putera-putera inovatifnya. Akibatnya, terbukalah jalan bagi para tukang ceramah yang menyesatkan dan berusaha mengubah masyarakat menjadi demagog-demagog yang membunuh pemikiran dan kaum intelektual. Memang bukan satu tugas yang mudah. Melakukan tugas di tengah-tengah iklim yang tidak kondusif merupakan pekerjaan sulit dengan segala ukurannya. Sebab bisa dipastikan bahwa pekerjaan tersebut akan mengusik kaum agamawan yang picik dan rigid. Kaum agamawan juga sering mengeksploitasi kebodohan masyarakat awam untuk kepentingan sepihak. Tawaran Solusi Supaya apa yang saya paparkan di atas tidak dinilai hanya pandai melontarkan kritik, maka pada kesempatan ini saya ingin mengajukan beberapa solusi: pertama, sejak dideklarasikan oleh founthing father, HIMAS sudah mengikrarkan dirinya menjadi mitra masyarakat, dalam artian bahwa HIMAS adalah wadah aspirasi masyarakat kepulauan yang dibentuk oleh anak-anak kepulauan dengan tujuan transformasi sosial (melakukan upaya pencerdasan kepada masyarakat; baik dalam bidang politik, pendidikan, sosial, budaya, hukum, ekonomi, agama, dll). Secara internal, saya mengajak kepada mereka yang masih peduli dengan HIMAS, mari kita rawat HIMAS dengan sebaik-baiknya. HIMAS memiliki ribuan anggota yang memiliki kekayaan potensi. Akan lebih bermanfaat jika potensi itu dikerahkan dalam rangka pengabdian di tengah-tengah umat (Walaupun sebenarnya ukuran sukses dan jalur pengabdian itu tidak harus disalurkan melalui organisasi ini). Kepulauan sapeken menagih bakti kita kawan. Kedua, bagi kelompok orang yang sinis, jengkel, curiga, marah, dan lain-lain, terhadap HIMAS, mari berdamai dengan HIMAS. Saya pikir tidak ada alasan untuk memusuhi HIMAS hanya karena alasan berlawanan atau berbeda pemikiran. Bukankah lawan pendapat/pemikiran adalah kawan dalam berpikir? Dalam konteks fiqh, perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan; "barangsiapa yang tidak mengenal perbedaan, ia tidak akan mencium aroma fiqh". Zaman telah berlalu, posisi kemutlakan harus digantikan dengan cara pandang yang memberikan ruang bagi perbedaan antara manusia dalam melihat segala sesuatu. Sebab, bangsa yang dikendalikan oleh rasa takut tidak akan mampu untuk melanjutkan perjalanannya menuju kebangkitan. Karena itu saya yakin, dalam persepektif ini HIMAS tidaklah salah, apalagi sampai berdosa. Akhirnya, jika dalam tulisan ini kemungkinan terbuka pintu dialog, mari kita berdialog dengan cara yang sehat dan obyektif, tidak dilakukan saling menghakimi, apalagi sampai terjadi proses ke arah takfir (kafir-mengkafirkan).
Wallahu A'lam Bisshowab !!!!
Selamat dan sukses buat MILAD HIMAS ke-11
MENYOAL KRISIS KEPEMIMPINAN HIMAS;
Ikhtiar Mencari Pemimpin Alternatif
Oleh: Muarif
(Mantan Ketua Umum Pjs. Himas Pusat Periode 2009-2011)

Bangsa yang kuat adalah bangsa yang mau belajar dari sejarah. Kalimat tersebut berlaku untuk seluruh bangsa, tak terkecuali bagi organisasi yang kita cintai, HIMAS. HIMAS harus belajar dari sejarah, terutama sejarah para pemimpin-pemimpin terdahulu. Apalagi, HIMAS saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan dan kekurangan panutan.
Sejarah membuktikan bahwa, keadaan bangsa dan karakter pemimpin merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan. Dalam sejarah bangsa Indonesia misalnya, karakter pemimpin yang dipercaya oleh rakyat adalah karakter manusia yang memang sedang diperlukan bangsa dalam keadaan yang ada saat itu. Bangsa ini menjadi saksi, betapa bervariasinya karakteristik para pemimpin terdahulu dengan keadaan bangsa pada masa yang berbeda pula. Contohnya, Soekarno dengan nasionalisme-nya diangkat menjadi presiden pertama RI, tidak lain karena karakter yang ia miliki memang sedang diperlukan oleh keadaan bangsa saat itu. Belajar dari hal tersebut, Kita diharapkan dapat mencari karakter pemimpin yang diperlukan oleh kita saat ini.
Secara umum, Pemimpin secara langsung berperan sebagai lokomotif (penggerak) langkah masyarakat. Sehingga kemajuan dan kemunduran yang dialami dapat dipengaruhi karakter pemimpin. Pengaruh pemimpin akan memberi jalan bagi pemimpin untuk menjadi penentu kebijakan yang akan diterapkan. Inilah yang sering menjadi polemik tajam akibat timbulnya ketidakselarasan antara pemimpin dan yang dipimpin dalam penerapan kebijakan. Hal ini yang juga terus melekat pada sejarah pembangunan bangsa Indonesia, dan HIMAS pada khususnya hingga kini. Untuk itu, perlu penyaringan karakter pemimpin yang cerdas dalam arti dapat menjadi penentu kebijakan yang bijaksana

Pemimpin juga harus berpengaruh, akan tetapi tidak mudah terpengaruh. Artinya, pemimpin harus memiliki sikap yang mendekatkan pribadinya dengan yang dipimpin. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan menjadikan diri seorang pemimpin sebagai inovator atau pembaharu menuju ke arah yang lebih baik. Namun, pemimpin harus tegas dan memiliki pendirian, tetapi tidak otoriter total, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh gangguan dan ancaman yang ada.
Disadari maupun tidak, HIMAS saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Jujur, kita merindukan akan datangnya seorang pemimpin yang mampu memberikan keteladanan, tanggung jawab, punya misi jauh ke depan yang bisa membawa arah masa depan organisasi dan kepulaun sapeken secara umum. HIMAS sangat membutuhkan sosok pemimpin yang kehadirannya membawakan kesejahteraan dan keadilan untuk mereka.
Sedikit bercerita, Saya merasa kaget ketika beberapa bulan yang lalu saya dikonfirmasi oleh saudara Alex Subhan sebagai Sekretaris Jenderal HIMAS Pusat mengenai kemunduran saudara Andi selaku Ketua Umum terpilih secara terhormat di arena kongres HIMAS-4 tanpa alasan yang jelas. Satu pertanyaan yang saya ajukan ketika itu kepada saudara Alex; apa sebenarnya yang terjadi di tubuh HIMAS pada periodenya, sehingga saudara Ketua Umum menyatakan mundur dari jabatannya? Jawaban yang saya dapatkan adalah "tidak tahu".
Menurut saya, hal ini adalah "dosa lama" yang terulang kembali. Sebab, ketika periode saya (2009-2011) yang pada waktu itu ketua umum dipegang oleh saudara Hamdi, dan saya Sekretaris Jenderal. Akar permasalahannya pun hampir sama yaitu "ketidak siapan". Namun barangkali perbedaannya, jika saudara Andi secara jantan berani mundur dari jabatannya, maka saudara Hamdi tidak. Sehingga saya pada saat itu perlu mengambil inisiatif untuk mengadakan KLB (Kongres Luar Biasa). Alhasi, KLB mengantarkan saudara Guntur terpilih sebagai ketua umum.
Nah, pertanyaannya, apakah perlu HIMAS saat ini untuk mengadakan KLB, sebagaiaman yang pernah terjadi? Secara pribadi saya menolak KLB digelar ulang. Dengan beberapa alasan dan pertimbangan: Pertama, tentu alasan efisien dan efektifitas. Alih-alih untuk KLB, kenapa kita tidak gunakan untuk memikirkan hal-hal yang mendesak, agenda dan program misalnya, atau hal-hal yang mendesak lainnya (bukan berarti saya menganggao KLB tidak mendesak), namun menurut saya banyak hal yang lebih mendesak ketimbang berputar-putar di persoalan KLB. Kedua, sosio-politik. Artinya, konteks zamannya berbeda dengan zaman ketika saya waktu itu. Tingkat partisipasi dan konstelasi "politik" berbeda dengan saat ini, dimana tingkat partisipasi dan konsolidasi para anggota HIMAS hari ini demikian melemah. Tentu hal itu akan menjadi kendala utama di dalam penyelenggaraan KLB. Oleh karena itu, kalaupun misalnya saat ini KLB tetap akan dilaksanakan, pelaksanaanya akan cenderung dipaksakan. Hasilnya pun saya kira tidak akan maksimal.
Dalam menyoal krisis kepemimpinan HIMAS, supaya ini tidak menjadi seperti persoalan yang tidak ketemu ujung-pangkalnya, saya mengajukan beberapa alternatif; pertama, kita perlu mencari dan menunjuk, serta mendaulat dengan segera ketua umum HIMAS baru yang siap; siap bertanggung jawab, siap membawa HIMAS ke arah yang lebih baik, serta siap menanggung resiko (tanpa harus menunggu atau dipilih di KLB). Kedua, untuk jangka panjangnya, kita perlu menyeleksi dan memilih dengan akal sehat dan penuh hati-hati di dalam memberikan amanat dan kepercayaan kepada siapapun yang nantinya ditakdirkan menjadi pemimpin HIMAS masa depan.
Pada akhirnya, karakter pemimpin yang dinanti adalah pemimpin yang amanah dalam tanggung jawab yang diemban, serta visioner dalam melihat strategi memajukan HIMAS seutuhnya. Sehingga, dengan karakter- karakter tersebut, seorang pemimpin memegang peranan sangat penting dalam membangkitkan organisasi ini dari keterpurukan dan dalam proses pencapaian cita-cita kita bersama seutuhnya. Wallahu A'lam Bisshowab !!!

UNTUKMU KADER HIMAS
(Membangungun Identitas Kader untuk Menyongsong Masa Depan)

Oleh : Umar Bayaksut Hs (Himas Bandung)


Se-iring dengan perputaran waktu begitu cepat, yang setiap saat meyilimuti kehidupan ummat manusia di dunia, dan berharap setiap lorong-lorong waktu yang dilewati, bisa menjadi saksi sejarah dalam nafas yang setiap saat kita hembuskan. Umur kita bertambah dari waktu ke waktu bersamaan dengan krisis dan problem masyarakat yang setiap saat selalu di pertontonkan secara gratis yang disajikan untuk masyarakat. Masyarakat seakan-akan mengemis makna dari arti sebuah kemerdekaan. Karena yang mereka tahu saat ini bahwa kebebasan yang mereka rasakan adalah kebebasan yang terpenjara…!!

Masyarakat selalu berdoa dan berharap mudah-mudahan Tuhan mengirim
kan kader-Nya untuk membangun menara keadilan dari hak-hak mereka, bukan manusia-manusia yang hanya bisa berpretensi, tapii kering kerontang dalam tindakan nyata. He…he….he…

Pertanyaan adalah apakah Himas adalah kader yang dikirimkan Tuhan sebagai jawaban dari doa masyarakat kepuluan? Jawabannya… “Iya”…apabila setiap bayi yang dilahirkan oleh Himas ikut bertanggung jawab saling membangunkan dari mimpi buruknya. Idealisme harus menjadi tema awal dalam buku agenda pikiran kader Himas. Jangan mau diciptakan menjadi robot-robot yang siap bekerja yang tidak akan hidup dan bergerak tanpa adanya energi pragmatis, selalu diam
tampa adanya remot control yang digerakkan pemiliknya. Dan itulah bagian dari burung hantu yang selama ini bersemayam di langit hati individu kader Himas, yang seharusnya di tembak mati dengan senapan komitmen diri terhadap gerakan.

Himas sebagai kader yang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi, harus berani membangun identitas dari kerisis kepercayaan, yang terlepas dari intervensi siapapun, yang terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, akademik, social dan mandiri. Sehingga membentuk tanggung jawab keagamaan, intelektualitas, social kemasyarakatan dan tanggung jawab individu sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga masyarakat kepuluan.

HIMAS yang lahir sebagai organisasi gerakan harus membuahkan suatu konsepsi romantis yang kini menjadi senandung merdu bahwa mahasiswa adalah dinamisator perubahan melalui moral Force. Karena untuk menghadiahi senyum buat masyarakat kepulauan tidaklah semudah memunculkan tawa dalam keceriaan, tapi perlu proses dan pengorbanan yang maha akbar dari seluruh putra putri kepuluan yang mengiginkan cerita ketertekanan berakhir bersama pagi yang meninggalkan malam.

Derap langkah HIMAS dalam memperjuangkan idealismenya untuk masyarakat kepulauan dimasa-masa mendatang lebih mungkin ditata dan dirancang bila problem dirinya bisa tepecahkan bukan karena peradaban itu yang menindas para kader HIMAS sehingga gagal dan tumbuh untuk bangkit sebagai Al-ternatif ditengah problem masyarakat .Tetapi HIMAS bisa menggambarkan suatu konsistensi keyakinan ideology dalam membangun gerakan untuk masyarakat kepuluan sebagaimana Allah kehendaki, suatu obsesi yang mengandung kecerdasan raksasa sebagaimana Nabi Menampilkan sebuah pencerahan untuk memimpin peroyek peradaban Islam

Mungkin hanya ini dulu evaluasi yang dibangun dari sebuah perenungan panjang sebagai kader. Aku berharap bunga yang dirangkai saat ini oleh Himas suatu saat bisa mengeluarkan aroma kebebasan. Dan keindahannya mampu membuat jiwa masyarakat kepuluan bersatu dalam sebuah bingkai kebersamaan demi sebuah tanggung jawab yang telah Tuhan titipkan kepada seluruh plajurit-Nya di bumi.

HIMAS DI PERSIMPANGAN JALAN
Sekali Lagi Tentang Kongres Luar Bi(n)asa HIMAS


Oleh : Rahmatul Ummah


Benci adalah klimaks dari cintaku, benci artinya aku benar-benar mencintai, karena jika tak cinta untuk apa aku peduli, dan benci adalah kepedulianku.” (Sebuah pesan pendek yang nyasar di HPku)


Ada beberapa alasan kenapa saya menyebut HIMAS masih berada pada fase konsolidasi dalam tulisan Menakar Kemimpinan Kader HIMAS, salah satunya adalah karena seluruh perangkat aturan internal organisasi yang belum terjabar dengan baik. Silahkan telaah baik-baik, apa yang termasuk kategori pelanggaran oleh pengurus, apa sanksi jika PP tidak menjalankan program kerja dalam satu semester, bagaimana mekanisme pengambilan keputusan di tingkat PW dan PD, apa yang menjadi dasar PW melaksanakan pergantian pengurus dan Raker, dan apa nama institusi pengambilan keputusan yang menghasilkan ketua PW HIMAS, konstitusional atau inkonstitusional, dan masih berderet beberapa pertanyaan yang lain yang jawabannya tidak akan pernah ditemukan dalam peraturan-peraturan organisasi HIMAS.

Di samping saya tidak terbiasa mengukur kematangan itu dari kwantitas usia melainkan kwalitas yang dihasilkan, saya juga tidak melihat indikator pelanggaran yang dilakukan secara konstitusional oleh Ketua Umum terpilih, sehingga harus “dibinasakan” dalam KLB. Inilah beberapa alasan yang menurut saya kenapa KLB harus dikaji ulang di tengah perangkat aturan organisasi yang “tidak lengkap” itu, karena akan membuka peluang interpretasi yang kontraproduktif. Memang KLB diatur dalam ART HIMAS, tapi bagaimana mekanismenya, apa pengertian “penting dan mendesak”, siapa yang berhak mengusulkan KLB, berapa persen dukungan PW dan PD sehingga KLB bisa dilaksanakan dan memiliki basis legitimasi dan justifikasi kuat dari kader, adalah beberapa contoh soal sederhana yang tak akan pernah

ditemukan jawabannya dalam lembaran-lembaran konstitusi HIMAS. Jadi sebenarnya siapa yang konstitusional dan inskonstitusional?

Tidak ada niatan untuk “mendikte” siapun dalam berorganisasi, saya hanya menginginkan tulisan ini memiliki daya tonjok psikologis baik kepada saya dan semua alumni, serta seluruh kader HIMAS tentunya, agar lebih bekerja serius dan maksimal untuk melihat dan membaca ulang secara obyektif “klaim kegagahan” yang dilekatkan selama ini kepada HIMAS. Sekali lagi kita adalah manusia yang senantiasa belajar dan akan terus belajar.

Jadi, HIMAS bukan hanya bermasalah dalam kaderisasi, regulasi yang dihasilkan pada forum Kongres pun terasa begitu lemah, hal itu bisa saja dipengaruhi, pertama, tingkat intelektualitas kader (alumni dan anggota) HIMAS yang memang masih rendah sehingga kebijakan yang dibuat tidak aplikatif dan visibel, kedua, fokus dan konsentrasi peserta Kongres bukan pada pembenahan sistem organisasi, melainkan lebih tersita pada siapa yang akan didaulat menjadi Ketua Umum.

Saya lebih melihat kecenderungan kedua sebagai penyebab lemahnya ouput Kongres, sehingga solusi yang harus dipikirkan adalah menyediakan ruang khusus sebagai tempat bertemunya ide-ide kader HIMAS untuk merumuskan regulasi dan peraturan-peraturan yang lebih sistemik dalam rangka penguatan organisasi.

Sejarah kelahiran HIMAS sangat berbeda dengan latar belakang kelahiran HMI, PMII dan IMM, dan jauh lebih berbeda backroundnya dengan kelahiran organisasi paska reformasi seperti KAMMI, yang rata-rata pengurusnya adalah aktifis dakwah kampus. Momentum kelahiran HIMAS sama sekali tidak pernah berbenturan secara langsung dengan tirani kekuasaan di Sumenep dan tidaklah dimulai dengan gerakan perlawanan-perlawanan yang disatukan, akan tetapi HIMAS dilahirkan terlebih dahulu, barulah agenda perlawanan itu disusun, masalah kepulauan diidentifikasi, kesadaran terhadap kesenjangan yang diciptakan kekuasaan disosialisasikan, simpul-simpul gerakan dibentuk, organisasi ditata.

Dan hingga hari ini, belum ada blue print yang jelas terhadap format dan pola gerakan yang strategis dan aplikatif, dan jika ini tidak segera di buat, suatu saat tidak mustahil orang akan bertanya, apa sebenarnya yang kau cari HIMAS? Sebelum titik jenuh itu mengemuka dalam bentuk apatisme dan apriori maka HIMAS harus berani tampil lebih maksimal dan bermanfaat.

Strategi yang mesti dilakukan oleh HIMAS jika berani dalam membela kebenaran adalah bersikap dialogis terhadap kekuasaan dengan argumen, data dan solusi yang akurat dan tepat, introspeksi tentang niat kemurnian gerakan, dan tanggap benar dengan rakyat. Dan format gerakan HIMAS harus tanpa kekerasan dan berwajah damai, namun tegas dan lugas dalam menyampaikan aspirasi rakyat sesuai yang dibutuhkan rakyat bukan menjadikan rakyat semakin pusing melihat kelakuan HIMAS.

Momentum Pilkada Sumenep harusnya menjadi momentum tepat buat HIMAS untuk melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat kepulauan sehingga pilihan masyarakat berdampak positif terhadap masa depan kepulauan, hal itu bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan organisasi Mahasiswa kepulauan Kangean dan beberapa tokoh masyarakat, bisa dengan cara menyebar buletin dan pamflet.

Momentum-momentum strategis dan bermanfaat untuk orang banyak harus senantiasa mampu diciptakan oleh kader HIMAS yang visioner dan organik. Bukan menciptakan momentum yang justru bisa membinasakan HIMAS secara sistemik apalagi sampai mengatasnamakan konstitusi. Seolah menjadi pahlawan penyelamat organisasi dan penjaga konstitusi, kita kemudian berteriak dan menghunus pedang hendak melakukan pembantaian terhadap siapa saja yang menurut kita hendak mengangkangi konstitusi, padahal lawan yang hendak kita bunuh itu adalah kawan seperjuangan kita, adalah relasi kita.

Mohon maaf, jika pada titik ini saya harus serius dan bersikap agak keras, karena kadang kita lebih peka pada persoalan-persoalan kecil dengan mengabaikan persoalan-persoalan besar yang justeru membutuhkan kepekaan dan sikap kita.


Revitalisasi atau Membinasakan HIMAS

Eksistensi gerakan HIMAS amat ditentukan oleh kekuatan pemikiran dan kompetensi profesionalnya. Sebagai anak zaman, gerakan HIMAS juga bergerak seirama dengan tuntutan zaman. Dalam konteks kepulauan, khususnya gerakan HIMAS, ada beberapa poin yang bisa dijadikan acuan gerakan, antara lain:

Pertama, Gerakan HIMAS mesti menyiapkan ruang yang kondusif untuk membekali komunitasnya dengan keunggulan komparatif, agar kelak mampu eksis dalam kompetisi politik dan ekonomi yang semakin terbuka dan ketat. Kedua, Gerakan HIMAS yang secara ideologis dan kultur memiliki keberagaman, sudah semestinya mampu menemukan "sinergi kolektif" melalui tradisi "komunikasi tanpa prasangka" demi memperjuangkan kepentingan masyarakat kepulauan. Dalam diksi yang lain, sentimen ideologis kelompok atau golongan, jangan malah mengalahkan kepentingan kolektif kita sebagai mahasiswa kepulauan.

Ketiga, Gerakan HIMAS mesti mengambil prakarsa untuk menstimulasi, menjaga, dan mengawal berlangsungnya "demokrasi politik" dan "demokrasi ekonomi" di kepulauan, melalui pergumulan varian isu seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat kepulauan, pemerataan pemabangunan infra dan supra struktur, anti-KKN, penegakan hukum, dll. Keempat, Gerakan HIMAS mutlak melakukan reorientasi dalam agenda gerakan atau perjuangan kolektifnya. Hendaknya, gerakan HIMAS lebih memberikan atensinya terhadap tema-tema mendasar seperti pembetukan Kabupaten Kepulauan, bias otonomi daerah yang memunculkan sentimen/ego daerah yang justru mengancam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD '45, peningkatan kualitas SDM Masyarakat kepulauan, isu-isu lingkungan seperti perawatan mangrove, perawatan terumbu karang, dll.

Kelima, Gerakan HIMAS sudah semestinya mentradisikan motivasi perjuangan yang meletakkan loyalitas kepada cita-cita, bukan kepada orang perorang. Gerakan HIMAS akan kehilangan jati dirinya ketika ia memainkan perannya sebagai subordinasi dari orang per orang, dan bakal terkubur eksistensi sejarahnya apabila ia membiarkan dirinya menjadi alat penguasa, siapa pun pemegang kekuasaan itu.

Lima tawaran gerakan itu bukan hanya untuk pengurus atau anggota HIMAS yang masih aktif, tapi untuk seluruh alumni dan semua yang selalu berteriak pro kebenaran dan mengaku sedang berjuang menegakkan kebenaran, maka saatnya kita melakukan revitalisasi gerakan atau pilihannya tak berbuat apa-apa, sama halnya berusaha membinasakan HIMAS atau menyaksiakan kebinasaan HIMAS tanpa perasaan.

Maka, sekali lagi mari kita meluruskan orientasi perjuangan kita. Saya percaya banyak hal-hal yang lebih terhormat yang mendesak dan penting yang bisa kita perbuat untuk masyarakat kita. Orang besar adalah mereka yang berpikir besar, bertindak besar dan hanya mau beresiko besar terhadap sesuatu yang menguntungkan orang banyak. Dan orang yang tindakannya melahirkan resiko besar dan tak banyak menguntungkan orang, adalah orang yang sebenarnya menuju pada kebinasaan. Allah al malik al ilm wa a’lam.

Lampung, 03 Februari 2010. 00.06 WIB
OPTIMISME PEMILU 2009
(Menjawab Kegalauan Terhadap Demokrasi Prosedural)

Oleh : Rahmatul Ummah
(Mahasiswa S2 FISIP Unila/Anggota KPU Kota Metro)
Ada beberapa pertanyaan penting yang harus saya ajukan untuk setiap orang yang menolak pemilu, apalagi jika argumentasinya itu dibangun di atas klaim akademis. (1) Mungkin atau adakah negara demokratis tanpa pemilu? (2) Apakah demokrasi substansial itu bisa dicapai tanpa demokrasi prosedural? (3) Dalam sejarah perjalanan negara, peroses peralihan kekuasaan hanya bisa dilakukan dengan 3 cara, REVOLUSI, KUDETA dan PEMILU?, Adakah cara yang lebih aman untuk peralihan kekuasaan selain Pemilu?
Pertanyaan ini penting saya ajukan, biar kita memiliki kejujuran ilmiah untuk membedahnya, bukan asal mengkampanyekan GOLPUT secara tidak bertanggungjawab, sehingga terjebak pada sikap a history (la tarikhy) yang jauh dari sikap ilmiah.
***
Pemilu 2009 memberikan harapan sekaligus mencemaskan, ditambah dengan beberapa isu penyedap yang menyertainya. Banyak yang pesimis, namun tak sedikit juga yang menaruh harap optimis.
Beberapa pakar dan analis politik menyebutkan bahwa pemilu kali ini merupakan tahap yang menentukan dalam proses konsolidasi demokrasi. Terkait dengan hal itu, Ho Won Jeong yang mengamati perkembangan demokrasi di negara-negara Asia Timur, mengemukakan bahwa pemilu pada masa transisi demokrasi merupakan titik krusial untuk mewujudkan pemerintahan yang legitimate sekaligus mewujudkan legitimacy of democracy, terutama di negara-negara yang masih dibayang-bayangi konflik sosial dan politik.
Sementara itu, Roland Paris dalam Democracy in Post-Authoritarian Regime (1997) dengan tegas menyebutkan bahwa pemilu kedua dan ketiga merupakan demarkasi yang akan menentukan terciptanya konsolidasi demokrasi (sustainable democracy) atau menjadi titik balik terciptanya pemerintahan yang lemah (unlegitimate) dan terbukanya potensi konflik sosial politik baru.?
Dalam konteks itulah, pemilu menjadi bagian yang sangat penting. Pemilu sebagai instrumen demokrasi bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Pascareformasi, kita telah berhasil melaksanakan dua kali pemilu yang demokratis. Kali ini merupakan pemilu ketiga yang menjadi faktor penentu apakah demokrasi akan semakin solid atau justru sebaliknya, terjadi kemandekan demokrasi.
Wacana penundaan pemilu dilontarkan Prabowo Subianto setelah mengadakan pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri terkait dugaan manipulasi DPT pada pilkada Jatim yang lalu. Prabowo menilai KPU tidak siap dan masih terdapat ketidakberesan DPT, terutama di Jatim, yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pernyataan itu pun menuai kontroversi di tengah semakin dekatnya hari pemilihan.
Apakah pemilu dapat ditunda? Pasal 228-230 UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur tentang pemilu lanjutan dan pemilu susulan. UU itu tidak menggunakan istilah penundaan pemilu. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemilu lanjutan dan pemilu susulan dapat dilakukan dalam hal di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh/sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Pemilu lanjutan dan pemilu susulan itu dapat terjadi di tingkat kota/kabupaten, provinsi, bahkan nasional.
Berdasarkan ketentuan di atas, secara hukum, pemilu lanjutan dan pemilu susulan dapat saja terjadi jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan UU. Namun, bukan karena ada dugaan manipulasi DPT yang masuk dalam kategori pidana pemilu.
Patut dipisahkan mana yang merupakan proses politik dan mana yang proses hukum. Pemilu merupakan proses politik yang sedang berjalan. Sedangkan dugaan manipulasi DPT merupakan masalah pidana pemilu yang harus diselesaikan melalui mekansime hukum.
Terhadap berbagai dugaan kecurangan dalam pemilu, pada akhirnya, terdapat mekanisme peradilan yang akan memutuskan. Sengketa pemilu diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan pidana pemilu diselesaikan di Mahkamah Agung.
Bahkan, bukan tidak mungkin, dugaan manipulasi dalam penyelenggaraan pemilu akan berimplikasi terhadap hasil pemilu. Berkaca pada beberapa putusan kasus pilkada di MK, bukan tidak mungkin, MK memerintahkan pemilu ulang di suatu daerah.
Selain itu, jika pemilu ditunda, akan terjadi krisis konstitusional akibat rusaknya agenda pemilu yang sangat ketat. Apalagi jika penundaan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan politik yang dapat menimbulkan konflik serta krisis pemerintahan, maka terbuka peluang bagi militer untuk intervensi.
Terhadap kemungkinan tersebut, analis politik dari University of California, Barbara Geddes (2005), memberikan catatan bahwa militer merupakan kekuatan yang sangat potensial untuk terlibat dalam proses politik ketika negara dalam keadaan kacau. Pada tahap ini, militer akan menjadi potensi ancaman (potential threat) bagi kelangsungan konsolidasi demokrasi.
Dengan demikian, Pemilu 2009 harus tetap berlangsung sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU. Syaratnya, KPU harus tegas. Pasal 22E ayat 5 UUD 1945 telah memberikan jaminan konstitusional kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Ditegaskan pula dalam Pasal 3 UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu bahwa KPU merupakan institusi yang berwenang menyelenggarakan pemilu dan bebas dari pengaruh pihak mana pun. Oleh karena itu, kita semua memiliki tanggungjawab bersama untuk menyelamatkan Pemilu 2009. Bukan malah membangun pesimisme publik terhadap pemilu, apalagi sampai memobilisasi massa untuk memperkeruh suasana menjelang pemilu.
Karena setiap orang pasti sepakat, bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui pemilu. Sehingga hamper tidak ditemukan cara lain dalam peroses peralihan dan pergantian kekuasaan secara tertib dan damai selain dari pemilu.
***
Ada beberapa syarat untuk menjadikan pemilu yang demokratis. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak-hak politik yang sama dan dijamin oleh undang – undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat.
Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya media massa (cetak dan elektronik) harus memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu, termasuk yang tidak memiliki dana untuk membayar iklan politik.
Kedua, pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.
Ketiga, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.
Keempat, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangat menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.
Semoga kita bisa membangun kepedulian yang lebih arif, untuk masa depan bangsa yang lebih baik, minimal dengan tidak mengajak orang lain untuk golput. Karena untuk sebuah Negara demokratis sangat mustahil tanpa Pemilu.
Sukses Pemilu 2009 akan menjadi tonggak penting bagi kemajuan demokrasi, namun dalam mewujudkan hal tersebut, tentunya memerlukan kerja keras dan kerja kolektif semua pihak, sebab sukses Pemilu 2009 khususnya di daerah hanya akan tercapai ketika semua komponen bersama-sama mengemban tanggungjawab ini, baik itu pemerintah daerah, DPRD, aparat kemanan, elit partai politik, dan semua elemen masyarakat untuk bekerja sama dalam mengawal Pemilu 2009 mendatang. Semoga HIMAS bisa mengambil peran strategis, sebagai yang peduli, bukan kelompok yang tidak bisa memainkan peran apa-apa dan hanya menonton. Semoga! Wallahu a’lam
“LUMPUR HEDONISME ;
Dalam Sindromatika Politik 2009-2014”

By. Syaifuddin
(Alumni HIMAS/ Pemuda Muhammadiyah)

SEIRING perputaran waktu begitu cepat dan dinamika zamanpun silih berganti mencari identitas dan jati diri sebagai penyebutan, petanda bahwa zaman telah berubah, kini kita memasuki era globalisasi, era dimana dunia semakin kecil, peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia dapat diakses begitu cepat melintasi sirkulasi waktu, derasnya arus globalisasi yang ditandai dengan perkebangan informasi, industrialisasi, sains dan tekhnologi, kini libralisme global dan intelektual kapital berperan menjadi pioner-pioner penentu kebijakan moneter dan kapitalisme pun menggurita menyebabkan individualisme semakin berkompetitif, rasa solidaritas dan persekawanan dalam masyarakat kini telah rapuh lapuk ditelan masa, westernisme, budaya barat menjalar kemana-mana memenuhi sel-sel masyarakat berkedok atas nama peradaban dan kemajuan.
Tidak ada yang mengelak dari kenyataan bahwa hedonisme semakin kuat, menggrogoti nilai-nilai, merong-rong mentalitas umat, dengan sasaran empuknya adalah para remaja yang masih labil dalam orientasi dan inkonsistensi dalam pergaulan hidunya, bukan hanya itu dalam percaturan politik pun masyarakat kini mengalami sindromatika yang menyeret para elit social-keagamaan untuk terlibat dalam dunia praktis hingga terjerembab pada lumpur hedonisme politik.

Sandiwara Elit
JELANG Pemilu Legislatif pada tanggal 09 April 2009 para elit politik kini turun kemasarakat (grass root) menebarkan janji-janji kebahagian dan keseajhteraan sesaat, beradu argumentasi dan merasionalisasikan program hingga masyarakat pun terpukau dengan retorika yang memukau bahkan tidak jarang ayat-ayat Tuhan di jadikan sebagai justifikasi pembenaran terhadap apa yang di sampaikan, penampilanpun berubah di design sedemikian rupa hingga layaknya seorang ahli agama yang `alim, lidah dipasih-pasihkan dalam menyampaikan pesan-pesan langit.

Dan para elit agama pun terbagun dari lelap tidurnya, terbagun oleh janji-janji kekuasaan yang selalu hadir dalam benaknya, bagaikan hantu-hantu yang bergentayangan membanyangi dan bermain dalam otaknya, merubah orientasi hidup dan gaya perjuangan, janji-janji manis dan kemapanan bertaburan dalam dunia imajinatifnya, untuk duduk setara dalam deretan elitis duniawiyah

Idealisme perjuagan kini beralih pada pragmatisme social yang berorientasi pada kekuasaan dan kemapanan hidup, orientasi pemberdayaan masyarakat (social empowerment), penguatan moral (moral force) sudah terabaikan oleh birahisme kekuasaan, demi kelancaran kekuasan terkadang agama dijadikan sebagai senjata yang paling ampuh untuk mobilisasi massa (baca;dukungan) demi kekuasaan politik.

Dan bahkan mereka menggunan fatwa sebagai senjata untuk mempertahankan eksistensinya, fatwa-fatwa pun berkompetitif dalam “kepentingan” sebut saja misalnya fatwa penghalalan darah, pengharaman SEPILIS (sekuler, pluralisme dan liberalisme) sampai fatwa pengharaman GOLPUT. Sehinggga fatwa-fatwa tersebut terkesan penuh dengan interest-interest tertentu yang pada akhirnya tidak menyentuh ranah sosial¬—umat

Barbagai macam cara dilontarkan terhadap lawan politik, kafir mengkafirpun terjadi , partai satu dengan partai lainnya saling mengklaim sebagai partai Islam, sebagai partai yang peduli terhadap penderitaan rakyat, sikut menyikkutpun terjadi hingga para pendukung menjadi korban. Lalu kita bertanya dimana etika politiknya? Dimana moralitas agamanya?bukahkah Tuhan terlah berpesan kepada umat manusia agar jangan saling menggunjing satu sama lainya?
Melihat realitas, bukankah para elit kita bersandiwara untuk kepentingannya? Dan bukankah para penyebar kebajikan (baca: agamauan) bagian yang tidak terpisahkan dari pranata sosial untuk kita “teladani”?, pertanyaan yang dilematis ini, hanya ada satu kunci jawaban “para elitis kita, berkompetitif dalam sandiwara politik dan mencari legitimasi kemapanan sosial” dan pada akhirnya, pertama; para penyebar kebajikan memperjual-belikan ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah, harga mengejar kekuasaan sesaat dan menjadikannya sebagai justifikasi sosial, pesan agama inilah tentunya akan menjadikan cambuk bagi mereka yang tidak sadar dan bagi mereka yang inkonsistesional dalam perjuangan konstitusional; kedua; manusia (penyebar kebajikan) berlomba-lomba mengejar kemilauan-kemilauan duniawiyah yang menggoda, mereka tergiur terjebak kapada lumpur hedonisme kekuasaan, penampilan berubah, life style dan gaya hidup pun menjadi elitis-gelamor dan kesenangan-kesenangan sesaat lainya sebagai efek dari sindromatika politik.
Jika gaya sudah berubah idealiasme kering dalam perjuangan maka mereka akan berperan sebagai aktor pelengkap sejarah dan menjadai catatan kelam masyarakat, lalu apa yang kita lihat dari mereka yang pandai beretorika tapi bungkam seribu bahasa dalam parlemen-konstitusional, tidak mau menghadiri rapat dengan alasan kekeluargaan, inikah wakil kita yang diangggap mampu dan menjadi refresentatif rakyat kecil (al-mustadh`afiin)? Jika nasi sudah menjadi bubur, bukankah ini merupakan kecelakan sejarah lima tahunan?

Dengan kenyataan sperti itu, kemana rakyat berbicara, kemana umat memperjuangkan nilai-nilai religiusitasnya dan kemana aspirasi perjuangan-pembebasan disalurkan? Jika para elit sosial-agama melibatkan diri pada dunia praktis dengan tidak bercermin pada pribadi yang utuh yang pada akhirnya kewajiban sebagai penguatan mentalitas umat tergadaikan dalam kekuasaan pragmatis; tapi, diam seribu bahasa, apatis dan apriori berbicara konstitusional, inikah politik sebagai alat dakwah?

Jika para elit sosial- agama yang menjadi suri teladan masyarakat sudah berbondong-bondong menuju senayan (DPR/MPR), maka masyarakat akan kehilangan manusia yang di tokohkan. Tidak ada alasan yang keluar dari celah bibir dan silidah emas itu melainkan satu kalimat “da`wah lewat struktural” dan terkadang tokoh sosial-agama pun dijadikan sebagai simbol kesuksesan dalam dukungan mendapat restu dari tokoh yang berpengaruh itu, secara logika, yang berperan adalah politisi bukan tokoh pendukung, dan yang ter aneh dan untuk menguatkan popularitas dimata publik adalah tokoh tersebut dengan senang hati dijadikan peran piguran dalam sindromatika politik dan diperparah lagi oleh panatisme tokoh/kelompok yang apatis antara politisi dengan tokoh tersebut.

Sesungguhnya kita masih memiliki kesadaran bahwa masayarkat akan bangkit dari keterpurukan jika kita (terutama para elit) mampu menjagai nurani dan moralitas masing-masing. Tetapi, sayang, kesadaran tentang kekuatan nurani dan moral itu hanya berada pada retorika di ujung lidah, tidak lagi berada di dalam jiwa dan perilaku kita. Jika demikian, begitu kuatnya sahawat kekuasaan dan energi lumpur hedonisme politik hingga menyeret para elit kita dan berlindung dibawah atap pesan-pesan langit.
REFLEKSI MILAD KE-8 HIMAS

MEREKONTRUKSI KEMBALI SEBUAH NARASI BARU

Oleh : Mu’arif Rahmatullah

(SEKJEND PW HIMAS SURABAYA)


Beberapa hari lagi, tanggal 24 Februari 2009 M, merupakan hari bersejarah bagi HIMAS. tepatnya tanggal 24 Februari 2001 yang silam organisasi mahasiswa kepulauan ini lahir di sapeken. Tidak terasa waktu terus bergulir membawa sejarah tersendiri bagi perhimpunan anak-anak “muda terdidik” kepulauan ini (baca; mahasiswa). Dinamika perubahan yang setiap saat bergerak dalam ketidakpastian, sedikit banyaknya mengubah pola alir gerakan HIMAS dalam merespon dinamika perubahan tersebut. terkadang HIMAS tertinggal, terkadang pula larut dalam dinamika tersebut.

Sesungguhnya kelahiran dan kehadiran gerakan Islam, serta organisasi-organisasi Islam di hampir selruh persada nusantara Indonesia, bermaksud mengenyahkan penjajahan di muka bumi Indonesia serta menjadikan kemerdekaan bagi Indonesia, tidak lain karena diilhami dari suatu risalah yakni ‘risalah Islam’.

Satu risalah yang melahirkan satu kesadaran akan makna kemerdekaan. Satu risalah yang mengajarkan tentang hakikat nilai-nilai kemanusiaan, bahwa sesungguhnya manusia mempunyai kemerdekaan untuk berkeinginan, berbuat, berpikir, melakukan sesuatu tanpa harus punya rasa takut dan ketergantungan.

Dalam konteks pergerakan organisasi Islam di Indonesia, ada NU, Muhammadiyah, PERSIS, dan lain-lain adalah dilatarbelakangi di mana kondisi umat Islam mengalami stagnasi dan kemandegan berpikir, dan kurangnya pemahaman terhadap ajaran agamanya sendiri. oleh karena itu, tujuan dari organisasi-organisasi Islam di Indonesia adalah untuk mengembalikan umat Islam kembali kepada ajarannya; al Qur’an dan hadits. Tidak terkecuali dalam hal ini HIMAS (yang heterogen yang berasal dari beberapa aliran madzhab dan gerakan yang di dalamnya banyak sekali potensi dan energi-energi baru dalam memajukan organisasi dan masa depan kepulauan sapeken secara keseluruhan) adalah punya cita-cita dan semangat yang sama.

HIMAS lahir bukan secara tiba-tiba jatuh dari langit. Tetapi HIMAS lahir karena seleksi sejarah dan karena sebuah tuntutan zaman. Karena, sebagaimana tertuang dalam Mukaddimah AD/ART HIMAS bahwa “...kaum terpelajar dalam ekspekstasi sejarahnya mempunyai tempat tersendiri dalam ranah Ibu Pertiwi...” ini diamini oleh fakta sejarah bahwa kaum muda (dalam hal ini mahasiswa) menjadi aktor dalam setiap peristiwa penting yang terjadi di Tanah Air. Kita ingat, mahasiswa Angkatan 66 yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) berhasil menjatuhkan orde lama Soekarno yang disinyalir sebagai Presiden seumur hidup. Di tahun 1998, yang kemudian dikenal dengan gerakan reformasi berhasil menggulingkan Orde Baru Soeharto dari kekuasaannya selama 32 tahun. Artinya, bahwa lahirnya HIMAS merupakan sub narasi besar atas refleksi kritis yang melanda negeri ini.


TIGA BANGUNAN PIRAMIDA HIMAS

Di usia HIMAS ke-8, HIMAS masih dalam kegamangan. HIMAS akan bergerak dalam tataran apa masih menyisakan tanda tanya besar. Himas seharusnya menata diri guna menunjukkan identitasnya dengan bingkai visi kerakyatan yang digagasnya. Refleksi historis ini selayaknya menjadi bangunan motivasi sekaligus spirit sebagai organisasi pemersatu umat, masyarakat, dan bangsa.

Untuk merumuskan persoalan yang merusak karakter dan identitas HIMAS ada tiga indikasi sebagai agenda mendesak untuk dilakukan. Pertama, Ideologisasi. Sebuah ideologi merupakan pondasi dalam menunjukkan visi dan narasi gerakan, ia selalu menjadi penggerak pola pikir dan jiwanya dalam segala dimensi hidupnya. Tatkala terjadi pergeseran nilai-nilai ideologi, maka gerakannya akan mengalami disorientasi yang mengantarkan kepada hal-hal yang sifatnya patalogis baik secara individu maupun sosial. Platform yang dibentuk adalah turunan dari gagasan ideologisnya. Arah perjuangan organisasi ditentukan oleh ideologi yang dirumuskan. Jika dalam sebuah organisasi tidak mempunyai pegangan ideologis, berarti mengalami kekaburan identitas dan orientasinya.

Kedua, Kaderisasi. Kaderisasi akan berjalan secara dinamis ketika pemahaman yang komprehensif terhadap ideologinya telah menjiwai pada sebuah organisasi. HIMAS harus menjadi tempat berkader dan menempa diri untuk menghasilkan kader-kader berkualitas yang akan diproyeksikan menjadi pemimpin masa depan kepulauan. Kaderisasi sebagai sebuah pilihan di tengah krisis kepemimpinan, harus dilakukan secara maksimal demi tujuan HIMAS untuk mencetak kader umat dan bangsa yang akan terus melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik.

Ketiga, Orientasi anggota-anggota HIMAS. Anggota-anggota HIMAS sebagai seleksi sejarah, sebagai kader umat dan bangsa baik dari segi pemahaman terhadap ideologinya maupun dalam proses kaderisasinya pada akhirnya ia merupakan pejuang ideology. Ia harus siap berjuang untuk merealisasikan ideologi. Dalam pengertian lain, ia siap bekerja keras secara ikhlas di atas filosofi hidup untuk masyarakat masyarakat.

TIGA PIRAMIDA HIMAS yang kemudian dirumuskan dalam AD/ART menjadi pikir, dzikir, dan amal shaleh (Ulul Albab) sedangkan dalam bahasa saya disederhanakan dengan bahasa ideologi, kaderisasi, dan orientasi. Dengan dinamikan, tiga piramida itu harus menjadi kesatuan yang utuh dalam diri anggota-anggota HIMAS yang tidak bisa dipisahkan.


WASIAT UNTUK KADER-KADER HIMAS

Dalam rangka mempersiapkan diri sebagai kader himas militant, penyambung lidah rakyat, perhatikanlah hal-hal berikut :

1.

himas merupakan kawah candra di muka, tempat persemaian calon-calon pemimpin masa depan. Karena itu, pola pikirnya harus dibekali dengan bekal keilmuan yang memadai dan penegetahuan luas. Tanpa ditopang modal keilmuan dan wawasan yang luas, kepemimpinan akan kosong dari nilai-nilai, miskin visi, hampa substansi, dan tidak ada karakter.
2.

himas adalah tempat perjuangan, dan bukan wadah untuk berkiprah mencari materi dan popularitas. Ingat, aktivis sejati tidak mencari kebesaran nama di organisasinya, tapi bagaimana membesarkan organisasinya.
3.

perubahan adalah jalan yang paling mungkin untuk melakukan perbaikan. Kader-kader himas adalah para arsitek perubahan dan duta-duta pembaharuan (agent of change dan agent social of control). Jihad (perjuangan) maha besar bagi setiap kader-kader himas adalah berperang melawan ketidak adilan, penjajahan, kesewenang-wenangan secara cultural maupun structural.
4.

kader-kader himas adalah generasi ulul albab yang memiliki keluasan intelektual (fakir), kedalaman spiritual (dzikir), dan kematangan professional (amal shaleh). Karena itu, kader-kader himas pantang menolak tugas dan tanpa setitik kata TIDAK
5.

setelah sukses meraih gelar/title yang diperlukan, kembalilah ke tengah-tengah masyarakat, tidak sebagai “pendatang baru” yang datang dari atas, tapi sebagai pelayan masyarakat yang datang dari bawah untuk berjuang bersama-sama, mengangkat dan menjunjung mereka ke tingkat yang lebih tinggi.

Melalui refleksi 8 tahun HIMAS ini, kita perlu memahami dan memikirkan serta mengoreksi kembali pada diri HIMAS bukan tentang lama waktu yang dijalani melainkan kontribusi. Apa yang telah diberikan untuk kepulauan sapeken tercinta. Sebagai organisasi yang mempunyai visi dengan narasi kerakyatan. Ada tiga fokus utama yang mendesak untuk dilakukan yaitu problem global, lokal, dan internal dirinya sendiri. Tiga narasi problem tersebut dengan variabel-variabelnya harus dicari format solusinya. HIMAS sebagai organisasi dengan beribu-ribu anggotanya yang tersebar di seluruh nusantara maupun di luar negeri memiliki jaringan kelembagaan yang massiv baik pada dominan internal maupun eksternal yang siap menjadi pelopor utama kerja-kerja institusi dan masyarakat. Selain itu jaringan kerja yang pernah dibangun oleh HIMAS harus diperkuat kembali baik dengan organisasi pemerintah maupun swasta, baik di skala lokal maupun nasional.

Membicarakan HIMAS dan Sapeken tidak akan selesai dalam satu malam, dalam satu bulan, dalam satu tahun, tak akan habis dibahas dalam bab demi bab. Karena permasalahan HIMAS dan kepulauan Sapeken semakin hari semakin kompleks. Karena itu, HIMAS harus bergerak dinamis dan solutif terhadap persoalan-persoalan kepulauan, tidak hanya sekedar menawarkan program, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial da reaksioner.

Saya yakin dengan momentum ini di tengah arus globalisasi, krisis multidimensi bangsa dan gencar-gencarnya perang idelogi abad 21, HIMAS harus mampu melakukan filterisasi sekaligus penetrasi terhadap bahaya-bahaya yang akan mengancam keutuhan kepulauan sapeken. Tentunya melalui pemahaman yang sempurna terhadap piramida-piramida ideologi HIMAS Yang berdasarkan semangat keislaman dan keindonesiaan akan melahirkan sinkronisasi antara idealitas dan realitas yang akan menggiring pada peradaban baru yang relevan dengan zamannya. Internalisasi, eksternalisasi, dan obyektifikasi nilai-nilai dasar perjuangan sebuah keharusan untuk dilakukan demi dinamisasi organisasi. Karena KEBANGKITAN HIMAS ADALAH KEBANGKITAN KEPULAUAN SAPEKEN....SELAMAT ULANG TAHUN HIMAS KE-8...!! SEJAHTERA HIMAS, SEJAHTERA KEPULAUAN SAPEKEN....!

CATATAN :

Apakah HIMAS hanya sekedar berhimpun....? TIDAK...himas akan bergerak..! karena itu secara radikal Rahmatul Ummah dalam satu statemennya, BERGERAK ATAU KAFIR !

Artinya, dalam konteks perjuangan Himas, Himas tidak hanya berhimpun, tetapi juga bergerak. Jika suatu saat situasi dan kondisi menuntut himas untuk bergerak, himas harus bergerak. Jika tidak, himas berarti melakukan sebuah kekafiran (pengingkaran dan pengkhianatan besar)....
HIMAS: MEMBEDAH REALITAS MENJAWAB
PROBLEMATIKA SOSIAL KEPULAUAN

(by: Syaifuddin, Alumni HIMAS dan Pemuda Muhammadiyah)

“Untuk mebangun masyarakat kepulauan maka pemerintah harus boros jika tidak maka selamanya masyarakat akan ketinggalan dan akan terjadi ketipanagn yang berkepanjangan antara daratan (kota) dengan kepulauan……” (Dr. Soekarwo, M.Hum)

Pernyataan ini bukan pernyataan yang kering dan kosong dari realitas tapi merupakan koreksi kebijakan terhadap pemerintah tertama pemerintah Kabupaten Sumenep, dalam kebijakanya tidak “sudi” kalau kepulauan maju dan berkembang dalam sosial ekomomi, distorsi kebijakan ini merupakan kepicikan pemerintah Kabupaten Sumenep.
Sumur gas di Pagerungan dieksplorasi BP Kangean sejak 1993. Mula-mula bisa memproduksi 225 juta kaki kubik per hari. "Tapi, lambat laun mengalami pengurangan alami dan sekarang 14 sumur yang aktif dari 18 sumur dengan hasil produksi pada tagun 2003 hanya 180 juta kaki kubik per hari" Sedangkan Sumur minyak di Sepanjang cukup besar. Saat ini ada tiga sumur yang sudah dieksplorasi dan siap untuk dieksploitasi. Tiap sumur itu diprediksi memiliki kandungan 350 barel per hari. "Jadi, 1.050 barel per hari bisa dihasilkan dari tiga sumur itu," dan 80% - 85% untuk Pendapatan Daerah Kabupaten Sumenep, dengan jelas bahwa Pemerintah Kabupaten Sumenep bisa bertahan hidup karena adanya subsidi dari kepulauan.
Maka tidak wajar jika masyarakat kepulauan Sapeken-Kangean berteriak untuk menjadi Kabupten Kepuluan, akibat kepicikan kebijakan biroksi pemerintah kabu Paten Sumenep dan kecelakaan sejarah bagi Kepualuan terhadap Sumenep Dua (wabub) yang terkesan tidak ada keberpihakannya bahkan menggores tubuh kepulauan.
Kita ketahui bahwa masyarakat Kepulauan Sapeken adalah masyarakat yang satu padu dengan menitik sentralkan di Desa Sapeken (luas ± 3,5 KM), rujukan yang menjadi standar kemajuannya dalam dinamika social keagamaan Kepulauan Sapeken dan sekaligus sebagai “peradaban yang terisolasi” untuk ukuran Kepulauan Madura, terlepas dari kebijakan birokrasi pemerintah Kabupaten Sumenep yang masih setengah hati serta dipengaruhi oleh pemimpin lokal-tekhnokrat- elit sosia-keagamaan yang berpenampilan sebagai “Tuhan –tuhan” kecil penentu kebenaran dan terkadang dijadikan sebagai padanan Tuhan (God equivalents) oleh pengikutnya.
Sesungguhnya paradigma berpikir seperti ini adalah rentetan sejarah feodalisme- kepicikan berfikir dan tidak mustahil akan menjadi turun-temurun jika tidak ada yang melakukannya dan HIMAS lah yang dianggap sebagai representatif sejarah untuk melakukan perubahan dengan mengedepankan inklusifitas berfikir dengan tidak melunturkan militansi dalam beragama.
Kehadiran HIMAS sebagai regenerasi yang terlahir dari anak jaman tentunya bukan hanya sekedar pelengkap sejarah tetapi harus menjadi aktor sejarah dan mampu menyikapi persoalan-persoalan masyarakat kepualauan yang sampai sekarang menjadi problematika dalam dianmika peradaban dan keadaban.
Tilisan singkat ini, mencoba membedah probelmatika masyarakat Kepulauan Sapeken dan mudah-mudahan akan menjadi renungan dan semangat perjungan pembebasan bagi HIMAS terhadap permasalahan sosial masyarakat Kepulauan.

I. Masalah Riil Kepulauan
Ada beberapa permasalahan kepaulauan Sapeken yang sampai sekarang menjadi batu sandungan dalam dinamika dan perkembangan jaman yang semakin cepat dan “menggila” dan ini menjadi tantangan sekaligus menjadi tugas HIMAS sebagai masyarakat terdidik dan berkeadaban. Dengan modal keilmuan dari berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya, sudah saatnya HIMAS menularkan ilmunya untuk bisa berdialog dengan probelmatika masyarakat. Permsalahan-permasalah itu dapat kita rumuskan sebagai berikutut;

Sektor pendidikan; pendidikan merupan infrastuktur pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara terencana, programatis dan berkelanjutan, baik pendidikan formal maupun non-formal. Problematika dalam pendidikan kita adalah;
(1) pengembangan mutu dan kualitas pendidikan di Kepulaun Sapeken sangat lemah dan tidak representatif dalam pengembangan kualits out put, akibat tidak adanya alat penunjang (peraga) ataupun Lab-lab sebagai reserch kepastian ilmu dan keapstian teori yang dipelajari, misalnya Lab. Kimia, Biologi , Fisiska, Komputer, dll;
Dengan tidak adanya perangkat pada lemabaga-lemabaga pendidikan di Kepulauan, mengakibatkan lemah dan terbelakangkangnya peserta dildik dan ini adelah masalah yang harus dijawab oleh pemerintah dalam hal ini Mendiknas.
(2) para pendidik (guru) dari luar Kepulauan tidak maksimal dalam memberikan pelajaran, dua puluh hari di daerah masing-masing, sepuluh hari berada di tepat mengajar (Sapeken). Mengakibatkan peserta didik dalam jangka waktu itu tidak mendapat pelajaran dan hal ini meruapak masalah krususial yang sampai sekarang belum mendapat respon dan sikap yang tegas dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep sebagai yang bertanggung jawab dan ditunjang oleh kearifan lokal (local wisdom) dalam msayarakat sehingga mereka menjadi-jadi.
(3) kurangnya penanaman budi pekerti dan moralitas agama, kalaupun diajarkan hanya sebagai pelengkap kurikulum pembelajaran di sekolah yang tersistematis, tanpa penerapan dan pengawasan artikulasi dari pendidikan keagamaan tersebut.
Dengan kurangnya perhatian guru terhadap pelajaran pendidikan agama dan diperparah lagi oleh bolosnya para pendidik (guru) menyebabkan peserta didik berprilaku peniadaan nilai etik dan moralitas agama, berindikasi pada pergaulan hidup bebasa tanpa batas (kurangnya pemahaman mana perbuatan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran ke-Tuhan-an dan mana perbuatan yang tidak bertentangan dengan-Nya?)
(4) rendahnya minat orang tua dan masyarakat terhadap pentingnya pedidikan, bahkan sampai sekarang paradigma klasik tetap berkembang “yang penting hidup tenang dan bisa makan” mereka tidik tau menau lagi bahwa mereka yang terdidik dan berpengetahuan akan memberikan mamfaat terhadap masa depan Daerah/Kepulauan dan sebagai wujud dari kemajuan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan berdaya guna bagi masyarakatnya.

Dari semuanya itu pendidikan kita harus berorientasi pada; pertama, kemasa depan dan hanya berpihak kepada masa depan, posisi awal kemasa depan adalah era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilimu pengetaguhuan dan tekhnologi maka mau tidak mau pendidkan di kepualuanpu harus mengembangkan SAINTEK (Sain, Tekhnologi dan Ekonomi ) dengan standar Internasional; kedua,pendidikan yang berorientasi kepada masa depan itu tidak lepas dari integritas spritualitas IPTAQ; komitmen terhadap nilai-nilai ke-Tuhan-an yang benar (al-Iman) dan menumbuhkan kesadaran personal terhadap Tuhan Yang Maha Esa (at-Taqwa) sebagai bentuk holistik ilmu agama.

Sektor Kesehatan; Dengan semakin tingginya pendidikan suatu masyarakat maka akan semakin tinggi pula kesadaran akan pentingnya meiningkatkan mutu mendapatkan pelayanan kesahata dan kesejahteraan yang berkualits bagi diriinya (masyarakat)

Karena itu harus dicanankan kesadaran hidup sehat dan bersih sebgai refleksi dari komitmen keprecayaan kepada Tuhan. Sesunggguguhya jika sudah terjadi kesadaran hidup sehat, merupakan kemajuan dalam menunjang pembangunan Sumber Daya Manusia yang berkualitas tadi.

Ada beberapa problem kesehatan dan menjadi hambatan dalam dinamika masyarakat di Kepulauan;
(1) tidak tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang representitif (berstandar Nasional) terhadap masyaarakat Kepulauan;
(2) selain keterbatasan sarana dan prsasarana juga kondisi geografis Kepulauan yang di batasi oleh laut yang luas dan tidak mustahil kalu tidak harus menempuh perjalanan yang cukup melelahkan untuk sampai kepada rumah sakit yang di anggap representatif, akibatnya Pasien belum sampai ketujuan – sudah lebih dahulu menuju kepangkun Tuhan (meninggal), kedua hal tersebut merupakan suatu hal biasa dan merupakan realitas masyarakat yang harus dijalani masyarakat Kepulauan Sapaken.

Sektor Lingkungan; Kita ketahui bahwa salah satu sumber napakah masyarakat Kepulauan Sapeken adalah melaut, akan tetapi sumber napakah ini mengalami ancaman yang luar biasa dari oknum Nelayan tertentu (Nelayan lokal dan luar Daerah). Dan lauat bukan warisan yang di berikan tetapi adalah titipan Tuahan untuk masa depan anak cucu kita yang harus di jaga dan dilestarikan. Permasalahan lingkungan laut adalah permsalahan yang sampai sekarang trus berlanjut hal ini dikarenakan;
(1)tidak adanya kesadaran sebagian Nelayan yang menggunakan bom, potasium dan zat kimia lainnya untuk menangkap ikan mengakibatkan habitat laut mengalami kepunahan dan ikan-ikan makin menjauh dari wilayah tangkap tradisional karena rumah-rumah (terumbu karang) ikan mengalami gangguan (mati
(2)bebasnya Nelayan dari luar Daerah/Porseng (Nelayan yang menggunakan alat tangggkap Jaring Pukat Harimau) beroperasi di wilayah tangkap Nelayan tradisional dan merampas semua mahluk laut yang kecil sampai yang besar bahkan memporak-porandakan rumah-rumah ikan tersebut;
(3) tidak adanya konsistensi kepastian wilayah tanggap dari Plt. Kelauatan dan Prikanan Kecamatan Sapeken, serta lemahnya kontrol pengakan supremasi hukum, bahkan para penegak hukum Pol Airut di Kepulaluan terindikasi dalam permainan, bukan hanya itu saja Kepolisian dan Koramil pun terlibat dalam pembagian kekuasaan dalam perlindungan pelaku kriminal kelautan tersebut.

Jika sudah terjadi perselingkuhan dalam lingkaran keserakahan, maka permasalahan lingkungan laut terus akan berlanjut, hal ini dibuktikan dengan semakin mengguritanya pelaku pengrusakan lingkungan laut dan lemahnya kontrol aparat penegak hukum. Dan jika institusi yang memiliki kewenangan sudah terindikasi dalam lingkaran kebiadaban, terus kemana masyarakat Nelayan Kepulauan mengadu nasib, sementara wilayah sumber penghidupan mereka terancam dan tidak mendapat perlindungan dari instansi pemerintah?, dan masih adakah harapan masa depan Nelayan lebih baik dari sekarang dan bisa menjajikan terhadap anak cucuk kita? Syukur-syukur, mereka yang terlibat dalam lingkaran kebiadaban sadar dan berfikir kedepan sehingga harapan itu menapakkan tirai keredupan masyarakat Nelayan Kepualuan Sapeken.

Sektor Sosial-Ekonomi Poros sosial ekonomi kerakyatan meletakkan arti pentingnya pratata (sosial institution) yang mampu memenuhi minat kebutuhan dan kepentingan pada komunitas masyarakat dan pemihakan terhadap masyarakat kecil (al-mustad`afin).
Persolan bagaimana mewujudkan pembangunan yang berporos pada kepentingan sosial ekonomi kerakyatan dan tidak semata-mata menjadi selogan dan mantra dalam sindromatika politik? dan bagaimana upaya mewujudkan pembangunan sosial ekonomi kerakyatan tidak sekedar dalam bentuk belas kasihan (karitatif) atau kegiatan pernik-pernik kecil untuk pewangi ketiak (deadorant effects) agar seolah-olah pembangunan berpihak kepada rakyat.
Karenanya, permasalahan pengembangan sosial-ekonomi Kepulauan Sapeken yang tyerdiri dari berbagai sektor harus bercorak kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat, konteks masyarakat Kepulauan pengembagan ekonomi kerakyatan secara geografis masih “terlunta-lunta” dan dibatsi oleh ruang dan waktu yang cukup lama (hamparan laut), yang sewaktu-waktu perputaran roda perekonomi Kepulauan Sapeken mengalami kemacetan (deplasi);
(1)sektor pertanian (i) rendahnya penawaran hasil pertanian dan tidak adanya life skill masyarakat dalam mengolah dan mengembagkan hasil pertanian (misalnya; jangung, singkong, ubi-ubian dll.) dan menciptakan home industry sebagai wadah life skill mereka; (ii) tidak adanya pemasaran untuk meningkatkan daya jual hasil pertanian mereka; (iii) tidak adanya penyuluhan pertanian yang berkesinambungan dan pendampingan oleh pemerintah dalam hal ini UPTD.Dinas Perkebunan dan Perhutani;
(2)sektor Perikanan; (i) adanya keterikatan Nelayan yang berhutang kepada salah satu Bos (pegepul ikan), sehingga hasil tangkap harus di jual kepadanya walau harga beli relatif lebih rendah dibanding bos yang lainya; (ii) terkadang tidak adanya keseimbagan antara pendapatan dan pengeluaran, dalam artian, perjalanan untuk sampai ketempat wilayah tangkap ikan dengan biaya operasional (BBM) rusaknya lingkungan laut dan matinya habitat laut; (iii) makin mengkristalnya sebagain Nelayan menggunakan potasium dan bom dalam mengakap ikan serta berkeliarannya Porseng secara bebas di wilayah tangkap Nelayan tardisional, mengakibatkan menjauhnya ikan dari yang semestinya (mempengaruhi prolehan tangkap Nalayan tardisioanal)
(3)lemahnya supremasai hukum; (i) masih ada kompromi hukum dalam jaminan kerja (transaksi hukum); (ii) tidak adanya ketegasan dalam penerapan sehingga mereka perlu di bangun dalam lelap tidurnya, sebut saja, misalnya; kasus pembantaian di Desa Tanjung Kiaok, sebelum kejadian Kepolisian sudah di konfirmasi terlebih dahulu dan membiarkan Nelayan yang menggunakan bom dan potasium berkeliaran dalam menagkap ikan.
Sektoar Transportasi Laut; Sebagai gugusan kepualuan di Madura, Kepaulauan Sapeken adalah merupakan pulau paling timur yang masuk pada wilayah kabupaten Suemnep dan meruapakan sentral perekonomian yang di kelilingi pulau-pulau kecil baik yang sudah di diami (berpenghuni manusia) maupun tidak dengan sembilan Desa. Dari sembilan desa tersebut Sapeken merupakan pusat perbelanjaan (trade central). sebagai masyarakat kepulauan tentunya perputaran roda perekonomiannyapun tergantung pada tarsnsportasi laut.

Permasalah transportasi laut adalah permasalah yang tidak kalah pentingnya dengan permasalahan-permsalahan riil yang dihadapi masyarakat kepulauan, dengan demikian ada bebarap masalah dalam transportasi laut di kepulauan, yaitu;
(1)dalam penyediaan Kapal Perintis sebagai trnsportasi laut bagi masyarakat kepulauan tidak representatif “ronsokan” tidak memenuhi standar Kapal untuk di tumpangi manusia;
(2)dari perkembangan transportasi laut yang di sediakan kurang maksimal terutama pada hari min tujuh hari raya idul fitri, dengan membeludaknya penumpang, tapi pemerintah diam, merasa lega dalam kepanikan masyarakat pada hari-hari tersebut.

Sektor Penerangan (PLN); Permsalasahan penerangan di kepualuan Sapeken seolah-olah di bebankan kepada msayaraka dan tidak adanya perhatian dari pemerintah dalam menyikapi dan memberikan pelayanan terhadap masayarakat. Dalam perjalanan waktu dalam dianamika masayarakat dan semakin cerdasnya para intelektual kapital menangkap moment tersebut untuk dipergukanan (komersialisasi arus listrik; mesin desel) sesuai dengan kebutuhan masayarakat setempat walau hanya menikmatinya lima samapai enam jam.
Berkaitan dengan masalah lambannya pemerintah untuk membantu masyarakat dalam memberikan pelayanan penerangan lampu bagi msayarakat. Terlepas dari hal diatas ada beberapa masalah yang terjadi di Upt. PLN Kecamatan Sapeken;
(1)sering terjadinya pemadaman dengan alasan yang tidak rasional; (i) solar (BBM) tidak ada, padahal BBM tidak pernah terlambat kalaupun terlambat hanya berkisar dua hari sampai lima hari dari jadwal yang telah ditentukan; (ii) pemadaman secara bergantian selama berbulan-bulan (nyala tidak normal, ketika pukul 22.00. WIB sampai pukul 00.00. dan padam sampai pukul 03.30. WIB yang seharusnya hidup pukul 17.00-06.00 WIB); (iii) pemadaman totol dengan sistem bergantian (dua hari nyala satu hari padam) sesuai dengan jalur (arus listrik) yang di pergunakan;
(2)para pekerja (kontrak) yang terdapat di Upt. PLN Kecamatan Sapeken adalah teknisi yang tidak memiliki skill kemampuan dalam penanganan mesin, sehingga terindikasi ada permainan di dalam, mengapa tidak, mesin/desel tidak pernah bertahan paling lama mesin bertahan satu bulan; dengan alasan yang tidak ilmiah; (i) komponen mesin sudah tua dan tidak mampu menampung beban pemakaian dari pelanggan, padahal mereka selalu menambah pelanggan baru dan penambahan beban dari KWh 450 menjadi 900-1000. (ii) dengan makin bayaknya beban dan pemakaian pelanggan diharapkan mesin cepat rusak dan di ganti kepada mesin yang lebih bagus dan besar; ketiga; setelah awal bulan januari 2009 dan diadakan audit jatah solar (BBM) Upt.PLN Kecamatan Sapeken per bulan dengan pemakiannya, terindikasi penggelapan BBM (pada saat-saat tidak normalnya pelayanan PLN)

Sektor Pembangunan; Pembangaunan adalah keseluruhan upaya mebangkitkan, membela dan menumbuhkan prakarsa, peran serta dan swadaya nmsayarakat, agar masyarakat mampu membagun dirinya sendiri dalam memenuhi minat dalam kepentingan dan kemaslahatan masyarakat.

Untuk menciptakan hal tersebut maka pemerintah harus bisa menumbuhkan empati (pengertian) dan simpati (perhatian) kepada kebutuhan dan kepentingan msayarkat untuk membangun, mewujudkan maka pemerintah harus mengalokasikan; pertama, kebijakan program dan sumber daya pembangunan; kedua, sumber ekonomi, faktor produksi dan kesempatan ekonomi kerakyatan, terutam kepada masyarakat miskin dan lemah (al-mustadz`afin) peran ini biasa disebut sebagai emancifatory develoment masyarakat dalam pembangunan.

Yang terjadi dalam masayarakat kiata (kepulaun) pembangunan hanya sebagai ritus kekuasaan yang menguasi nilai, sumber dan kewenangan authority, namun terlepas dari detak nadi kehidupan masyarakat yang menjadi basis tumbuhnya budaya dan peradaban masyarkat.

Program pemrintah dalam mebangun masyarakat kepulaun terkesan lamban dan dikotomi dengan masayarakat daratan (kota), melihat realiatas tersebut, mak tidak salah kalau, Dr.Suekarwo, mengatakan, untuk membangun masyarakat kepulaun maka pemerintah harus boros, kalau pemrintah masih meilihat dengan sebelahan mata maka selam itu masyarkat kepulaun akan selalu berada dalam posisi terbelakang dan termarjinalkan oleh pemerintah yang dihidupkan oleh penghasilan kepulauan.

II. Tawaran dan Sikap
Dari permsalahan riil masyarakat kepulauan HIMAS harus bisa memprakarsai dan bersikap inklusif dalam bergaininya dalam masyarakat sehingga dapat terwujud gerakan dan dukungan bersama ntuk mencapai tujuan dan cita-cita masayarakat kepulauan; hidup dalam kedamain, kesejahteran dan kadilan serta pembangunan yang merata..
Dengan demikian kita harus mampu menyikapi persoalan-persoalan diatas yaitu; sektor pendidikan;
(i)menciptakan pendidikan alternatif; lemabaga ketrampilan masyarakat (majlis ta`lim tarbiyah sakilah)
(ii)menyediakan perpustakaan atau taman bacaan masyarakat (TBM) dan;
(iii)meletakkan asas pendidikan sebagai tanggung jawab pemerintah baik sekolah Negeri maupun swasta/ madrasah sehingga kehendak konstitusi 20% dari anggaran untuk pendidikan dapat tercapai.

sektor Kesehatan, meletakdak dasar sistem pengembangan kesehatan untuk menjawab pemenuhan, perkembangan kebutuhan kesehatan maka diperlukan sistem kesahatan dan kesejahteraan persatuan komunitas setingkat Desa dan lingkungan masyarakat sekerja (community health and welfare care) posisi UPTD. Puskesmas Kecamatan Sapeken, perlu ditingkatkan dan dibawahnya yaitu diselenggarakan BAKESRA (Balai Kesehatan Masyarakat) AKESRA (Asuransi Kesehatan Rakyat) sehingga lima tahun kedepan diharapkan seluruh masyarakat Kepulauan dijamin kesehatannya

Hal tersebut pernah ada di daratan Sapeken lengkap bersam Dokternya, namun pupus ditengah jalan, karena keterbatasan sistem managerial dalam pengelolaannya tidak memenuhi standart dan kurangnya kesadaran (partisipasi) masyarakat serta lemahnya dukungan Puskesmas?, dan ini bukan merupakan kegagalan sejarah yang harus dilupakan dan tidak membangkitkan kembali sejarah itu;

Sektor lingkungan;
(i)memberikan kesadaran terhadap masayarakat nelayan lewat penyuluhan-penyeluhan yang berkaitan dengan lingkungan laut dan penangkapan ikan yang benar;
(ii)mendukung gerakan pemerhati lingkungan, FPL (front Penyelamat Lingkungan) dengan fokus gerakan pada lingkungan laut yang selalu berteriak kebungkaman aparat epnegak hukum.;

Sektor sosial ekonomi
(i)meningkatkan managerial lembaga Keuangan Desa (BUMDES) sebagai lembaga untuk mengembangkan ekonomi dan kesejahteraan masayarakat;
(ii)jaringan distribusi Desa-kota dalam peningkatan sosial ekonomi msayasarakat baik dalam prikanan, pertanian dan hal yang menyentuh pengembangang sosial ekonominya;

sektor pembangunan;
(i)perbaikan sarana publik (jalan, transportasi dan pelabuhan);
(ii)peningkatan daya listrik untuk memenuhi kekurangan daya riil terhadap konsumen;
(iii)menciptakan pembangunan sebagai proses perubahan kebudayaan dan peradaban;
(iv)menciptakan pembangunan yang berbihak pada kepentingan sosial ekonomi kerakyatan;
(v)pembangunan harus berbasis investasi dan kesejahteraan.

Karena itu, harapan masyarakat kepulauan terhadap percepatan pemangunan semakin tidak bisa di tawar lagi, sehingga pembangunan merata pada seluruh Desa yang ada di kepulauan Sapeken dan memdapat prioritas tinggi dalam pemerintah dan percepatan pembangunan secara langsung menyentuh struktur ekonomi kerakyatan khususnya dalam rangka swasembada padi, jagung, ketela, kacang tanah serta peternakan, prikanan dan kelautan, perkebunan, kehutanan, industri rumah tangga (home industry)

Penutup
Pembanguan harus mendapat perhatian oleh semua pihak, jika tidak maka akan melahirkan efek komulatif yang semakin merapuhklan struktur pembangunan di kepulauan dan tidak ada pihak yang bertanggung jawab terhadap permasalahan kemiskinan dan penaggulangi hal-hal yang mengakibatkan terjadi masih Sehingga terjadi perubahan yang utuh (holistic) dan konprehensif penghambatan terhadap kemajuan dan dinamika sosial ekonomi kerakyatan melainkan pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ssebab, pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang berlaku dan mengikat secara umum (authoritative), termasuk kekuasaan dan kewenangan penyelenggaraan pembangunan. Pemerintah menyelenggarakan apakah pembangunan memberikan mamfaat atau sebaliknya menimbulkan ketidak merataan dan pengrusakan sumber-sumber yang menyebabkan rakyat semakin miskin.
Disamping itu, sebagai bangsa yang berketuhanan tentunya menjadikan agama sebagai kekuatan infrastruktur nilai (value infrastructure) untuk mendukung pertumbuhan dan kemajuan masyarkat Kepulaulan, maka diperlukan saitifikasi kehidupan religiusitas masyarkat. Artinya, pendekatan keilmuan yang rasional perlu dikembangkan sebagai perspektif interpretasi pembangunan menuju masayakat berperadaban dan keadaban.
Jika masyarakat kepualuan hanya di jadikan sapi perahan oleh pemerintah maka lambat-laun masyarakat kepualuan akan kurus dan di tinggalkan begitu saja kerena sudah tidak menghasilkan apa-apa, jika itu sudah terjadi siapa lagi yang akan peduli memperjuangkan hak-hak itu kalau bukan HIMAS sebagi komunitas yang berpotensi untuk masa depan.