OPTIMISME PEMILU 2009
(Menjawab Kegalauan Terhadap Demokrasi Prosedural)

Oleh : Rahmatul Ummah
(Mahasiswa S2 FISIP Unila/Anggota KPU Kota Metro)
Ada beberapa pertanyaan penting yang harus saya ajukan untuk setiap orang yang menolak pemilu, apalagi jika argumentasinya itu dibangun di atas klaim akademis. (1) Mungkin atau adakah negara demokratis tanpa pemilu? (2) Apakah demokrasi substansial itu bisa dicapai tanpa demokrasi prosedural? (3) Dalam sejarah perjalanan negara, peroses peralihan kekuasaan hanya bisa dilakukan dengan 3 cara, REVOLUSI, KUDETA dan PEMILU?, Adakah cara yang lebih aman untuk peralihan kekuasaan selain Pemilu?
Pertanyaan ini penting saya ajukan, biar kita memiliki kejujuran ilmiah untuk membedahnya, bukan asal mengkampanyekan GOLPUT secara tidak bertanggungjawab, sehingga terjebak pada sikap a history (la tarikhy) yang jauh dari sikap ilmiah.
***
Pemilu 2009 memberikan harapan sekaligus mencemaskan, ditambah dengan beberapa isu penyedap yang menyertainya. Banyak yang pesimis, namun tak sedikit juga yang menaruh harap optimis.
Beberapa pakar dan analis politik menyebutkan bahwa pemilu kali ini merupakan tahap yang menentukan dalam proses konsolidasi demokrasi. Terkait dengan hal itu, Ho Won Jeong yang mengamati perkembangan demokrasi di negara-negara Asia Timur, mengemukakan bahwa pemilu pada masa transisi demokrasi merupakan titik krusial untuk mewujudkan pemerintahan yang legitimate sekaligus mewujudkan legitimacy of democracy, terutama di negara-negara yang masih dibayang-bayangi konflik sosial dan politik.
Sementara itu, Roland Paris dalam Democracy in Post-Authoritarian Regime (1997) dengan tegas menyebutkan bahwa pemilu kedua dan ketiga merupakan demarkasi yang akan menentukan terciptanya konsolidasi demokrasi (sustainable democracy) atau menjadi titik balik terciptanya pemerintahan yang lemah (unlegitimate) dan terbukanya potensi konflik sosial politik baru.?
Dalam konteks itulah, pemilu menjadi bagian yang sangat penting. Pemilu sebagai instrumen demokrasi bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Pascareformasi, kita telah berhasil melaksanakan dua kali pemilu yang demokratis. Kali ini merupakan pemilu ketiga yang menjadi faktor penentu apakah demokrasi akan semakin solid atau justru sebaliknya, terjadi kemandekan demokrasi.
Wacana penundaan pemilu dilontarkan Prabowo Subianto setelah mengadakan pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri terkait dugaan manipulasi DPT pada pilkada Jatim yang lalu. Prabowo menilai KPU tidak siap dan masih terdapat ketidakberesan DPT, terutama di Jatim, yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pernyataan itu pun menuai kontroversi di tengah semakin dekatnya hari pemilihan.
Apakah pemilu dapat ditunda? Pasal 228-230 UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur tentang pemilu lanjutan dan pemilu susulan. UU itu tidak menggunakan istilah penundaan pemilu. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemilu lanjutan dan pemilu susulan dapat dilakukan dalam hal di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh/sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Pemilu lanjutan dan pemilu susulan itu dapat terjadi di tingkat kota/kabupaten, provinsi, bahkan nasional.
Berdasarkan ketentuan di atas, secara hukum, pemilu lanjutan dan pemilu susulan dapat saja terjadi jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan UU. Namun, bukan karena ada dugaan manipulasi DPT yang masuk dalam kategori pidana pemilu.
Patut dipisahkan mana yang merupakan proses politik dan mana yang proses hukum. Pemilu merupakan proses politik yang sedang berjalan. Sedangkan dugaan manipulasi DPT merupakan masalah pidana pemilu yang harus diselesaikan melalui mekansime hukum.
Terhadap berbagai dugaan kecurangan dalam pemilu, pada akhirnya, terdapat mekanisme peradilan yang akan memutuskan. Sengketa pemilu diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan pidana pemilu diselesaikan di Mahkamah Agung.
Bahkan, bukan tidak mungkin, dugaan manipulasi dalam penyelenggaraan pemilu akan berimplikasi terhadap hasil pemilu. Berkaca pada beberapa putusan kasus pilkada di MK, bukan tidak mungkin, MK memerintahkan pemilu ulang di suatu daerah.
Selain itu, jika pemilu ditunda, akan terjadi krisis konstitusional akibat rusaknya agenda pemilu yang sangat ketat. Apalagi jika penundaan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan politik yang dapat menimbulkan konflik serta krisis pemerintahan, maka terbuka peluang bagi militer untuk intervensi.
Terhadap kemungkinan tersebut, analis politik dari University of California, Barbara Geddes (2005), memberikan catatan bahwa militer merupakan kekuatan yang sangat potensial untuk terlibat dalam proses politik ketika negara dalam keadaan kacau. Pada tahap ini, militer akan menjadi potensi ancaman (potential threat) bagi kelangsungan konsolidasi demokrasi.
Dengan demikian, Pemilu 2009 harus tetap berlangsung sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU. Syaratnya, KPU harus tegas. Pasal 22E ayat 5 UUD 1945 telah memberikan jaminan konstitusional kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Ditegaskan pula dalam Pasal 3 UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu bahwa KPU merupakan institusi yang berwenang menyelenggarakan pemilu dan bebas dari pengaruh pihak mana pun. Oleh karena itu, kita semua memiliki tanggungjawab bersama untuk menyelamatkan Pemilu 2009. Bukan malah membangun pesimisme publik terhadap pemilu, apalagi sampai memobilisasi massa untuk memperkeruh suasana menjelang pemilu.
Karena setiap orang pasti sepakat, bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui pemilu. Sehingga hamper tidak ditemukan cara lain dalam peroses peralihan dan pergantian kekuasaan secara tertib dan damai selain dari pemilu.
***
Ada beberapa syarat untuk menjadikan pemilu yang demokratis. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak-hak politik yang sama dan dijamin oleh undang – undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat.
Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya media massa (cetak dan elektronik) harus memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu, termasuk yang tidak memiliki dana untuk membayar iklan politik.
Kedua, pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.
Ketiga, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.
Keempat, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangat menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.
Semoga kita bisa membangun kepedulian yang lebih arif, untuk masa depan bangsa yang lebih baik, minimal dengan tidak mengajak orang lain untuk golput. Karena untuk sebuah Negara demokratis sangat mustahil tanpa Pemilu.
Sukses Pemilu 2009 akan menjadi tonggak penting bagi kemajuan demokrasi, namun dalam mewujudkan hal tersebut, tentunya memerlukan kerja keras dan kerja kolektif semua pihak, sebab sukses Pemilu 2009 khususnya di daerah hanya akan tercapai ketika semua komponen bersama-sama mengemban tanggungjawab ini, baik itu pemerintah daerah, DPRD, aparat kemanan, elit partai politik, dan semua elemen masyarakat untuk bekerja sama dalam mengawal Pemilu 2009 mendatang. Semoga HIMAS bisa mengambil peran strategis, sebagai yang peduli, bukan kelompok yang tidak bisa memainkan peran apa-apa dan hanya menonton. Semoga! Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: