“LUMPUR HEDONISME ;
Dalam Sindromatika Politik 2009-2014”

By. Syaifuddin
(Alumni HIMAS/ Pemuda Muhammadiyah)

SEIRING perputaran waktu begitu cepat dan dinamika zamanpun silih berganti mencari identitas dan jati diri sebagai penyebutan, petanda bahwa zaman telah berubah, kini kita memasuki era globalisasi, era dimana dunia semakin kecil, peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia dapat diakses begitu cepat melintasi sirkulasi waktu, derasnya arus globalisasi yang ditandai dengan perkebangan informasi, industrialisasi, sains dan tekhnologi, kini libralisme global dan intelektual kapital berperan menjadi pioner-pioner penentu kebijakan moneter dan kapitalisme pun menggurita menyebabkan individualisme semakin berkompetitif, rasa solidaritas dan persekawanan dalam masyarakat kini telah rapuh lapuk ditelan masa, westernisme, budaya barat menjalar kemana-mana memenuhi sel-sel masyarakat berkedok atas nama peradaban dan kemajuan.
Tidak ada yang mengelak dari kenyataan bahwa hedonisme semakin kuat, menggrogoti nilai-nilai, merong-rong mentalitas umat, dengan sasaran empuknya adalah para remaja yang masih labil dalam orientasi dan inkonsistensi dalam pergaulan hidunya, bukan hanya itu dalam percaturan politik pun masyarakat kini mengalami sindromatika yang menyeret para elit social-keagamaan untuk terlibat dalam dunia praktis hingga terjerembab pada lumpur hedonisme politik.

Sandiwara Elit
JELANG Pemilu Legislatif pada tanggal 09 April 2009 para elit politik kini turun kemasarakat (grass root) menebarkan janji-janji kebahagian dan keseajhteraan sesaat, beradu argumentasi dan merasionalisasikan program hingga masyarakat pun terpukau dengan retorika yang memukau bahkan tidak jarang ayat-ayat Tuhan di jadikan sebagai justifikasi pembenaran terhadap apa yang di sampaikan, penampilanpun berubah di design sedemikian rupa hingga layaknya seorang ahli agama yang `alim, lidah dipasih-pasihkan dalam menyampaikan pesan-pesan langit.

Dan para elit agama pun terbagun dari lelap tidurnya, terbagun oleh janji-janji kekuasaan yang selalu hadir dalam benaknya, bagaikan hantu-hantu yang bergentayangan membanyangi dan bermain dalam otaknya, merubah orientasi hidup dan gaya perjuangan, janji-janji manis dan kemapanan bertaburan dalam dunia imajinatifnya, untuk duduk setara dalam deretan elitis duniawiyah

Idealisme perjuagan kini beralih pada pragmatisme social yang berorientasi pada kekuasaan dan kemapanan hidup, orientasi pemberdayaan masyarakat (social empowerment), penguatan moral (moral force) sudah terabaikan oleh birahisme kekuasaan, demi kelancaran kekuasan terkadang agama dijadikan sebagai senjata yang paling ampuh untuk mobilisasi massa (baca;dukungan) demi kekuasaan politik.

Dan bahkan mereka menggunan fatwa sebagai senjata untuk mempertahankan eksistensinya, fatwa-fatwa pun berkompetitif dalam “kepentingan” sebut saja misalnya fatwa penghalalan darah, pengharaman SEPILIS (sekuler, pluralisme dan liberalisme) sampai fatwa pengharaman GOLPUT. Sehinggga fatwa-fatwa tersebut terkesan penuh dengan interest-interest tertentu yang pada akhirnya tidak menyentuh ranah sosial¬—umat

Barbagai macam cara dilontarkan terhadap lawan politik, kafir mengkafirpun terjadi , partai satu dengan partai lainnya saling mengklaim sebagai partai Islam, sebagai partai yang peduli terhadap penderitaan rakyat, sikut menyikkutpun terjadi hingga para pendukung menjadi korban. Lalu kita bertanya dimana etika politiknya? Dimana moralitas agamanya?bukahkah Tuhan terlah berpesan kepada umat manusia agar jangan saling menggunjing satu sama lainya?
Melihat realitas, bukankah para elit kita bersandiwara untuk kepentingannya? Dan bukankah para penyebar kebajikan (baca: agamauan) bagian yang tidak terpisahkan dari pranata sosial untuk kita “teladani”?, pertanyaan yang dilematis ini, hanya ada satu kunci jawaban “para elitis kita, berkompetitif dalam sandiwara politik dan mencari legitimasi kemapanan sosial” dan pada akhirnya, pertama; para penyebar kebajikan memperjual-belikan ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah, harga mengejar kekuasaan sesaat dan menjadikannya sebagai justifikasi sosial, pesan agama inilah tentunya akan menjadikan cambuk bagi mereka yang tidak sadar dan bagi mereka yang inkonsistesional dalam perjuangan konstitusional; kedua; manusia (penyebar kebajikan) berlomba-lomba mengejar kemilauan-kemilauan duniawiyah yang menggoda, mereka tergiur terjebak kapada lumpur hedonisme kekuasaan, penampilan berubah, life style dan gaya hidup pun menjadi elitis-gelamor dan kesenangan-kesenangan sesaat lainya sebagai efek dari sindromatika politik.
Jika gaya sudah berubah idealiasme kering dalam perjuangan maka mereka akan berperan sebagai aktor pelengkap sejarah dan menjadai catatan kelam masyarakat, lalu apa yang kita lihat dari mereka yang pandai beretorika tapi bungkam seribu bahasa dalam parlemen-konstitusional, tidak mau menghadiri rapat dengan alasan kekeluargaan, inikah wakil kita yang diangggap mampu dan menjadi refresentatif rakyat kecil (al-mustadh`afiin)? Jika nasi sudah menjadi bubur, bukankah ini merupakan kecelakan sejarah lima tahunan?

Dengan kenyataan sperti itu, kemana rakyat berbicara, kemana umat memperjuangkan nilai-nilai religiusitasnya dan kemana aspirasi perjuangan-pembebasan disalurkan? Jika para elit sosial-agama melibatkan diri pada dunia praktis dengan tidak bercermin pada pribadi yang utuh yang pada akhirnya kewajiban sebagai penguatan mentalitas umat tergadaikan dalam kekuasaan pragmatis; tapi, diam seribu bahasa, apatis dan apriori berbicara konstitusional, inikah politik sebagai alat dakwah?

Jika para elit sosial- agama yang menjadi suri teladan masyarakat sudah berbondong-bondong menuju senayan (DPR/MPR), maka masyarakat akan kehilangan manusia yang di tokohkan. Tidak ada alasan yang keluar dari celah bibir dan silidah emas itu melainkan satu kalimat “da`wah lewat struktural” dan terkadang tokoh sosial-agama pun dijadikan sebagai simbol kesuksesan dalam dukungan mendapat restu dari tokoh yang berpengaruh itu, secara logika, yang berperan adalah politisi bukan tokoh pendukung, dan yang ter aneh dan untuk menguatkan popularitas dimata publik adalah tokoh tersebut dengan senang hati dijadikan peran piguran dalam sindromatika politik dan diperparah lagi oleh panatisme tokoh/kelompok yang apatis antara politisi dengan tokoh tersebut.

Sesungguhnya kita masih memiliki kesadaran bahwa masayarkat akan bangkit dari keterpurukan jika kita (terutama para elit) mampu menjagai nurani dan moralitas masing-masing. Tetapi, sayang, kesadaran tentang kekuatan nurani dan moral itu hanya berada pada retorika di ujung lidah, tidak lagi berada di dalam jiwa dan perilaku kita. Jika demikian, begitu kuatnya sahawat kekuasaan dan energi lumpur hedonisme politik hingga menyeret para elit kita dan berlindung dibawah atap pesan-pesan langit.

Tidak ada komentar: