HIMAS DI PERSIMPANGAN JALAN
Sekali Lagi Tentang Kongres Luar Bi(n)asa HIMAS
Oleh : Rahmatul Ummah
“Benci adalah klimaks dari cintaku, benci artinya aku benar-benar mencintai, karena jika tak cinta untuk apa aku peduli, dan benci adalah kepedulianku.” (Sebuah pesan pendek yang nyasar di HPku)
Ada beberapa alasan kenapa saya menyebut HIMAS masih berada pada fase konsolidasi dalam tulisan Menakar Kemimpinan Kader HIMAS, salah satunya adalah karena seluruh perangkat aturan internal organisasi yang belum terjabar dengan baik. Silahkan telaah baik-baik, apa yang termasuk kategori pelanggaran oleh pengurus, apa sanksi jika PP tidak menjalankan program kerja dalam satu semester, bagaimana mekanisme pengambilan keputusan di tingkat PW dan PD, apa yang menjadi dasar PW melaksanakan pergantian pengurus dan Raker, dan apa nama institusi pengambilan keputusan yang menghasilkan ketua PW HIMAS, konstitusional atau inkonstitusional, dan masih berderet beberapa pertanyaan yang lain yang jawabannya tidak akan pernah ditemukan dalam peraturan-peraturan organisasi HIMAS.
Di samping saya tidak terbiasa mengukur kematangan itu dari kwantitas usia melainkan kwalitas yang dihasilkan, saya juga tidak melihat indikator pelanggaran yang dilakukan secara konstitusional oleh Ketua Umum terpilih, sehingga harus “dibinasakan” dalam KLB. Inilah beberapa alasan yang menurut saya kenapa KLB harus dikaji ulang di tengah perangkat aturan organisasi yang “tidak lengkap” itu, karena akan membuka peluang interpretasi yang kontraproduktif. Memang KLB diatur dalam ART HIMAS, tapi bagaimana mekanismenya, apa pengertian “penting dan mendesak”, siapa yang berhak mengusulkan KLB, berapa persen dukungan PW dan PD sehingga KLB bisa dilaksanakan dan memiliki basis legitimasi dan justifikasi kuat dari kader, adalah beberapa contoh soal sederhana yang tak akan pernah
ditemukan jawabannya dalam lembaran-lembaran konstitusi HIMAS. Jadi sebenarnya siapa yang konstitusional dan inskonstitusional?
Tidak ada niatan untuk “mendikte” siapun dalam berorganisasi, saya hanya menginginkan tulisan ini memiliki daya tonjok psikologis baik kepada saya dan semua alumni, serta seluruh kader HIMAS tentunya, agar lebih bekerja serius dan maksimal untuk melihat dan membaca ulang secara obyektif “klaim kegagahan” yang dilekatkan selama ini kepada HIMAS. Sekali lagi kita adalah manusia yang senantiasa belajar dan akan terus belajar.
Jadi, HIMAS bukan hanya bermasalah dalam kaderisasi, regulasi yang dihasilkan pada forum Kongres pun terasa begitu lemah, hal itu bisa saja dipengaruhi, pertama, tingkat intelektualitas kader (alumni dan anggota) HIMAS yang memang masih rendah sehingga kebijakan yang dibuat tidak aplikatif dan visibel, kedua, fokus dan konsentrasi peserta Kongres bukan pada pembenahan sistem organisasi, melainkan lebih tersita pada siapa yang akan didaulat menjadi Ketua Umum.
Saya lebih melihat kecenderungan kedua sebagai penyebab lemahnya ouput Kongres, sehingga solusi yang harus dipikirkan adalah menyediakan ruang khusus sebagai tempat bertemunya ide-ide kader HIMAS untuk merumuskan regulasi dan peraturan-peraturan yang lebih sistemik dalam rangka penguatan organisasi.
Sejarah kelahiran HIMAS sangat berbeda dengan latar belakang kelahiran HMI, PMII dan IMM, dan jauh lebih berbeda backroundnya dengan kelahiran organisasi paska reformasi seperti KAMMI, yang rata-rata pengurusnya adalah aktifis dakwah kampus. Momentum kelahiran HIMAS sama sekali tidak pernah berbenturan secara langsung dengan tirani kekuasaan di Sumenep dan tidaklah dimulai dengan gerakan perlawanan-perlawanan yang disatukan, akan tetapi HIMAS dilahirkan terlebih dahulu, barulah agenda perlawanan itu disusun, masalah kepulauan diidentifikasi, kesadaran terhadap kesenjangan yang diciptakan kekuasaan disosialisasikan, simpul-simpul gerakan dibentuk, organisasi ditata.
Dan hingga hari ini, belum ada blue print yang jelas terhadap format dan pola gerakan yang strategis dan aplikatif, dan jika ini tidak segera di buat, suatu saat tidak mustahil orang akan bertanya, apa sebenarnya yang kau cari HIMAS? Sebelum titik jenuh itu mengemuka dalam bentuk apatisme dan apriori maka HIMAS harus berani tampil lebih maksimal dan bermanfaat.
Strategi yang mesti dilakukan oleh HIMAS jika berani dalam membela kebenaran adalah bersikap dialogis terhadap kekuasaan dengan argumen, data dan solusi yang akurat dan tepat, introspeksi tentang niat kemurnian gerakan, dan tanggap benar dengan rakyat. Dan format gerakan HIMAS harus tanpa kekerasan dan berwajah damai, namun tegas dan lugas dalam menyampaikan aspirasi rakyat sesuai yang dibutuhkan rakyat bukan menjadikan rakyat semakin pusing melihat kelakuan HIMAS.
Momentum Pilkada Sumenep harusnya menjadi momentum tepat buat HIMAS untuk melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat kepulauan sehingga pilihan masyarakat berdampak positif terhadap masa depan kepulauan, hal itu bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan organisasi Mahasiswa kepulauan Kangean dan beberapa tokoh masyarakat, bisa dengan cara menyebar buletin dan pamflet.
Momentum-momentum strategis dan bermanfaat untuk orang banyak harus senantiasa mampu diciptakan oleh kader HIMAS yang visioner dan organik. Bukan menciptakan momentum yang justru bisa membinasakan HIMAS secara sistemik apalagi sampai mengatasnamakan konstitusi. Seolah menjadi pahlawan penyelamat organisasi dan penjaga konstitusi, kita kemudian berteriak dan menghunus pedang hendak melakukan pembantaian terhadap siapa saja yang menurut kita hendak mengangkangi konstitusi, padahal lawan yang hendak kita bunuh itu adalah kawan seperjuangan kita, adalah relasi kita.
Mohon maaf, jika pada titik ini saya harus serius dan bersikap agak keras, karena kadang kita lebih peka pada persoalan-persoalan kecil dengan mengabaikan persoalan-persoalan besar yang justeru membutuhkan kepekaan dan sikap kita.
Revitalisasi atau Membinasakan HIMAS
Eksistensi gerakan HIMAS amat ditentukan oleh kekuatan pemikiran dan kompetensi profesionalnya. Sebagai anak zaman, gerakan HIMAS juga bergerak seirama dengan tuntutan zaman. Dalam konteks kepulauan, khususnya gerakan HIMAS, ada beberapa poin yang bisa dijadikan acuan gerakan, antara lain:
Pertama, Gerakan HIMAS mesti menyiapkan ruang yang kondusif untuk membekali komunitasnya dengan keunggulan komparatif, agar kelak mampu eksis dalam kompetisi politik dan ekonomi yang semakin terbuka dan ketat. Kedua, Gerakan HIMAS yang secara ideologis dan kultur memiliki keberagaman, sudah semestinya mampu menemukan "sinergi kolektif" melalui tradisi "komunikasi tanpa prasangka" demi memperjuangkan kepentingan masyarakat kepulauan. Dalam diksi yang lain, sentimen ideologis kelompok atau golongan, jangan malah mengalahkan kepentingan kolektif kita sebagai mahasiswa kepulauan.
Ketiga, Gerakan HIMAS mesti mengambil prakarsa untuk menstimulasi, menjaga, dan mengawal berlangsungnya "demokrasi politik" dan "demokrasi ekonomi" di kepulauan, melalui pergumulan varian isu seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat kepulauan, pemerataan pemabangunan infra dan supra struktur, anti-KKN, penegakan hukum, dll. Keempat, Gerakan HIMAS mutlak melakukan reorientasi dalam agenda gerakan atau perjuangan kolektifnya. Hendaknya, gerakan HIMAS lebih memberikan atensinya terhadap tema-tema mendasar seperti pembetukan Kabupaten Kepulauan, bias otonomi daerah yang memunculkan sentimen/ego daerah yang justru mengancam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD '45, peningkatan kualitas SDM Masyarakat kepulauan, isu-isu lingkungan seperti perawatan mangrove, perawatan terumbu karang, dll.
Kelima, Gerakan HIMAS sudah semestinya mentradisikan motivasi perjuangan yang meletakkan loyalitas kepada cita-cita, bukan kepada orang perorang. Gerakan HIMAS akan kehilangan jati dirinya ketika ia memainkan perannya sebagai subordinasi dari orang per orang, dan bakal terkubur eksistensi sejarahnya apabila ia membiarkan dirinya menjadi alat penguasa, siapa pun pemegang kekuasaan itu.
Lima tawaran gerakan itu bukan hanya untuk pengurus atau anggota HIMAS yang masih aktif, tapi untuk seluruh alumni dan semua yang selalu berteriak pro kebenaran dan mengaku sedang berjuang menegakkan kebenaran, maka saatnya kita melakukan revitalisasi gerakan atau pilihannya tak berbuat apa-apa, sama halnya berusaha membinasakan HIMAS atau menyaksiakan kebinasaan HIMAS tanpa perasaan.
Maka, sekali lagi mari kita meluruskan orientasi perjuangan kita. Saya percaya banyak hal-hal yang lebih terhormat yang mendesak dan penting yang bisa kita perbuat untuk masyarakat kita. Orang besar adalah mereka yang berpikir besar, bertindak besar dan hanya mau beresiko besar terhadap sesuatu yang menguntungkan orang banyak. Dan orang yang tindakannya melahirkan resiko besar dan tak banyak menguntungkan orang, adalah orang yang sebenarnya menuju pada kebinasaan. Allah al malik al ilm wa a’lam.
Lampung, 03 Februari 2010. 00.06 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar