MENOLAK PELEMBAGAAN KEKERASAN

(Respon Terhadap Perilaku Main Hakim Sendiri

Di Kepulauan Sapeken)

Oleh : Rahmatul Ummah

(Putra Kepulauan, Sedang Sekolah S2 di Universitas Lampung)

Minggu Malam (11 Mei 2008) sekitar pukul 21.00 waktu Lampung, saya dikagetkan oleh berita yang disampaikan oleh seorang kawan yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) di Surabaya, bahwa di Desa Pagerungan Besar Kecamatan Sapeken, telah terjadi amuk massa yang menghakimi salah seorang aparat Brimob yang bertugas di Pagerungan Besar, sehingga mengakibatkan aparat tersebut patah tulang. Kejadian amuk massa yang main hakim sendiri sebelumnya telah terjadi di Desa Tanjung Kiaok Kecamatan Sapeken, yang menghilangkan dua nyawa sekaligus, H. Mujenni dan Abdul Hamid (ayah dan anak). Jarak waktu kejadian tersebut tidak sampai lebih dari dua bulan.

Terlepas apapun latar belakang kedua masalah tersebut, perbuatan main hakim sendiri jelas tidak bisa ditolerir dalam perspektif apapun. Terlebih dalam tradisi masyarakat Bajo atau Same yang sangat relegius dan memegang teguh adat ketimuran. Dan dalam perjalanan sejarah masyarakat kepulauan Sapeken, fenomena yang tidak beradab ini merupakan kejadian yang luar biasa, yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Tulisan ini berkepentingan untuk menolak setiap pelembagaan kekerasan atas nama apapun, termasuk atas nama masyarakat (baca; massa). Karena jika hal ini dibiarkan, bukan mustahil setiap ada masalah (entah itu besar atau kecil) akan diselesaikan dengan cara pengadilan jalanan (baca; main hakim sendiri), seolah kita berada dan sedang hidup di tengah rimba belantara. Dan jelas ini bukan kemajuan, sebagaimana dianggap oleh beberapa orang, tetapi justeru sebaliknya sebuah perilaku budaya primitif yang menunjukkan kemunduran peradaban.

Fenomena main hakim sendiri, dalam teori sosiologi modern diakibatkan oleh beberapa hal, Pertama, hilangnya kepercayaan (distrust) atau proses delegitimasi terhadap institusi hukum yang tidak lagi berjalan, Kedua, menunjukkan tidak berfungsinya institusi keagamaan dan menjadi bukti tidak efektifnya pesan-pesan agama yang disampaikan oleh elit agama, sebagai tokoh yang seharusnya setiap perkataannya menjadi panutan dan ikutan masyarakat. (Ritzer; 2004)

Distabilitas emosi masyarakat yang mudah terprovokasi menunjukkan akumulasi kekecewaan sekaligus gersangnya ruhiyah mereka dari nilai-nilai spiritualitas, praktek keagamaan yang selama ini mereka lakukan hanya mampu membasuh jasad-jasad kasar mereka, dan ritual seperti shalat hanya sebagai asesoris ritual-simbolik yang menutupi kebusukan niat jahat yang setiap saat bisa meluluhlantakkan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, Allah SWT menegaskan bahwa setiap ibadah yang dilakukan secara benar, pasti berbanding lurus dengan perkataan dan perilaku yang benar. Salah satunya adalah shalat, yang jika dilakukan secara benar akan menjadi kontrol efektif bagi yang melakukannya, sehingga ia tidak akan melakukan kedzaliman (fakhsya dan munkar).

Kedzaliman dalam bentuk main hakim sendiri yang terjadi di Kepulauan Sapeken akhir-akhir ini, karena bertentangan dengan hukum positif dan nilai-nilai Islam, harus ditolak dengan tegas. Ada beberapa alternatif penolakan yang bisa dilakukan, Pertama, aparat yang berwenang harus melakukan pengusutan yang fair, terbuka, jujur dan bertanggungjawab terhadap semua perilaku main hakim sendiri yang telah terjadi, dan menindaknya sesuai dengan peraturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, para alim ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat untuk senantiasa menyerukan kerukunan hidup, pergaulan yang santun, ramah, beradab sesuai dengan ajaran-ajaran suci agama dan adat-istiadat masyarakat Bajo, Same, Mandar dll, yang hidup di Kepulauan Sapeken. Dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Ketiga, Pemerintah Kabupaten Sumenep harus menghentikan sikap diskriminatif dan tidak adil baik dalam menetapkan kebijakan pembangunan, pelestarian lingkungan (terumbu karang, komunitas dan biota laut, hutan mangrove dll. yang ada di Kepulauan Sapeken), maupun dalam penanganan setiap masalah yang diadukan oleh masyarakat terkait dengan kasus-kasus yang sering hilang begitu saja tanpa ditindaklanjuti. Hentikan praktek suap!!!

Keempat, HIMAS harus mampu menfasilitasi setiap persoalan masyarakat yang mengalami kebuntuan penyelesaian, dengan mengadvokasinya sampai mendapat kepastian hukum, ha ini akan membantu memulihkan kepercayaan masyarakat, sehingga mereka tidak lagi skeptis dan pesimis terhadap pengaduan yang ujung-ujungnya selesai dengan uang.

Saat kepercayaan masyarakat pulih terhadap institusi hukum, maka mereka tidak akan pernah mengambil jalan pintas untuk memainkan hukum sendiri. Karena di satu sisi mereka menganggap kekompakan untuk melakukan hukum sendiri adalah jalan yang paling efektif untuk menghentikan kesewenang-wenangan, tanpa ada kesadaran, bahwa mereka juga terjebak pada perilaku sewenang-wenang dan dzalim.

Saya tidak bisa membayangkan, jika tradisi kekerasan yang telah menelan korban ini tetap dipertahankan, kemudian menular dari pulau ke pulau, betapa gampangnya memprovokasi masyarakat untuk melakukan pembunuhan, pemukulan, dengan alasan sepele, suka atau tidak suka, sehingga kekerasan, sadisme dan kebiadaban akan menjadi tontonan yang bisa menjadi kebanggaan.

Ah, betapa saya merinding membayangkan itu, jika hal itu terjadi setahun yang lalu, di saat beberapa tokoh agama menuding saya sebagai kelompok sesat dari Jaringan Islam Liberal (JIL), yang bukan hanya disampaikan dari mulut ke mulut, tapi dikumandangkan lewat mimbar-mimbar suci. Ya Allah, Yang Maha Menjaga dan Maha Melindungi, syukur dan terimakasih hamba haturkan Engkau telah menjaga dan menyelematkan hamba. Hanya kepada Engkaulah kami berlindung.

Kawanku, saudaraku, setiap waktu masalah menjejali kepulauan kita, kalau tidak kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi. Hanya ada dua pilihan, jika kita bukan bagian dari penyelesai masalah (problem solver), maka kita adalah bagian dari masalah (trouble maker) yang perlu diselesaikan. Marilah kita berpartisipasi untuk menyelesaikan setiap masalah di kepulauan yang kita cintai. Wa a’iddu lahum mastatha’tum min quwah...@

Tidak ada komentar: