BANGKIT INDONESIAKU, BANGKIT SAPEKENKU

Oleh : Rahmatul Ummah

(Alumni HIMAS, Untuk Sementara Menetap di Lampung)


DAS alte sturzt, es andert sich die zeit, und reus leben bluht aus den ruinen, seid eining-eing-eining (Yang lama sedang ambruk, zaman sedang berubah, kehidupan baru sedang berkembang di atas puing).

Kata-kata Bung Hatta itu, bagi saya, menjadi terasa magis ketika diletakkan dalam konteks keindonesiaan: Di sini dan pada hari ini.

Kita sedang memasuki fase seabad kebangkitan nasional. Sebuah perjalanan panjang yang membuat kita bisa menikmati aneka masakan cepat saji ala Amerika sambil mendengarkan musik pop dan berdiskusi tentang demokrasi.

Hingga hari ini kita sedang terus membangun keindonesiaan yang terkoyak. Entah sampai kapan rajutan itu akan selesai dan menunjukkan sebagai wajah utuh bernama Indonesia.

Kata-kata Bung Hatta menjadi magis karena kata-kata itu selalu mengingatkan kita bahwa perjalanan membangun negara-bangsa tidak dilakukan dalam arus perkembangan yang linear, terberi, sangat mudah, dan segala bahan bangunannya sudah disiapkan. Dalam konteks inilah kita boleh menegakkan kepala di hadapan Malaysia karena kita meraih kemerdekaan dengan perjuangan keras; dengan pengorbanan jiwa, darah, dan air mata.

Ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 bersama Hatta, saya yakin Soekarno belum tahu persis seperti apa bangunan akhir sebuah negara bernama Indonesia. Yang penting Indonesia merdeka dari penjajahan.

Untunglah Soekarno tetap siap--meski harus diculik para pemuda lain agar siap--menjadi orang pertama yang mengambil alih tampuk pemerintahan "si jabang bayi merah" Indonesia.

Meskipun sesuatu yang bernama Indonesia ketika itu masih tercerai-berai, bisa dengan mudah dikumpulkan dengan cara membangkitkan semangat keindonesiaan. Utamanya semangat untuk bangkit karena sama-sama menjadi bekas jajahan Hindia Belanda. Akhirnya, orang Jawa mau meninggalkan kejawaannya, orang Batak melepaskan ego kebatakannya.

Begitu juga dengan orang dari pelbagai suku lain di Nusantara yang telanjur dipenuhi identitas lokal dan suku. Yang lebih penting lagi, para tokoh dari kelompok muslim ketika itu juga mau mengalah sehingga Islam tidak dijadikan ideologi negara.

Indonesia ketika itu sangat beruntung karena memiliki pemuda-pemuda tangguh dan visioner. Lebih beruntung lagi karena di antara pemuda-pemuda tangguh itu ada seseorang yang ditokohkan, pemuda yang memiliki karakter kuat, inspiring, yang setiap kata-katanya menjadi gerak jiwa dan membangkitkan semangat rakyat untuk bergerak.

Selama seratusan tahun kita dimagifikasi kata "Indonesia". Kata "Indonesia" menurut saya sangat magis. Penciptanya, tentu saja, orang yang memiliki kekuatan dan daya magnet luar biasa. Bayangkan, Indonesia yang berarti gugusan pulau--lengkap dengan orangnya, sukunya, adat-istiadatnya--yang membentang dari Sabang hingga Merauke kita terima hampir tanpa kritik. Jutaan orang yang mendiami puluhan ribu pulau itu (kini berkembang hingga 200-an juta orang) disebut menjadi Indonesia hanya karena mereka pernah dijajah penjajah yang sama. Dengan tambahan kata-kata magis "Bhinneka Tunggal Ikha Tan Hana Dharma Mangwra" dan ikrar Sumpah Pemuda, mereka siap mempertahankan Tanah Air Indonesia.

Indonesia Baru dan Orang Lama

Kata-kata Bung Hatta juga kembali menemukan relevansinya dalam gerakan reformasi mahasiswa 1998. Meskipun sama-sama dimotori para pemuda, kondisi berbeda terjadi ketika gerakan mahasiswa berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Para pemuda tidak punya tokoh utama. Masifnya gerakan mahasiswa ketika itu mau tak mau melahirkan banyak tokoh mahasiswa. Mereka tidak terlalu hirau soal siapa calon pemimpin yang bakal menggantikan pemimpin lama. Menjadi sebuah kecelakaan ketika masa depan reformasi seolah-olah kemudian hanya diserahkan kepada kelompok Ciganjur (K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Amien Rais).

Perguliran sejarah akhirnya membuktikan kelompok pemuda-mahasiswa tidak mendapatkan hasil yang signifikan dalam gerakan reformasi. Reformasi yang dimotori para mahasiswa menjadi tidak terkontrol dan akhirnya menjadi permainan elite. Akhirnya kita bisa saksikan hasilnya: Para tokoh mahasiswa yang turut andil dalam menguakkan era reformasi cukup tenteram hanya diberi jatah sebagai petinggi parpol, komisaris lembaga pemerintah, menjadi anggota legislatif, dan beberapa jabatan publik lainnya.

Kini, ketika para aktivis 1998 berada di luar gelanggang politik-pemerintahan, "Indonesia Baru" dimasuki orang-orang yang tidak punya andil apa pun dalam membuka pintu gerbang reformasi. Mereka justru bisa menikmati "kemelimpahruahan berkah". Mereka yang dulu menjadi penonton aksi demo mahasiswa kini menjadi politisi, kepala daerah, dan elite yang menentukan merah-hijaunya negeri ini. Bukti nyata gerakan reformasi tidak menghasilkan tokoh adalah miskinnya orang muda dalam aneka pertarungan pemilihan kepala daerah secara langsung. Para calon gubernur maupun calon bupati/walikota rata-rata sudah tak bisa disebut muda. Bahkan, di antara mereka sudah dalam kategori apkir dan loyo karena usia.

Membangun Indonesia pada era Habibie, Megawati, K.H. Abdurrahman Wahid, dan Susilo Bambang Yudhoyono ibaratnya membangun "kehidupan baru sedang berkembang di atas puing". Kita tentu bisa membayangkan bagaimana bangunan yang didirikan dan berkembang di atas puing. Namun, persoalannya, menurut saya, bukan pada bangunan yang dibangun di atas puing. Persoalan mendasarnya adalah karena kita masih belum selesai dalam membangun keindonesiaan. Kita belum memiliki karakter nasional yang benar-benar kuat. Nasionalisme baru terasa hebat dalam pidato-pidato dan slogan, belum dalam perbuatan sehari-hari.

Nasionalisme dan Keindonesiaan

Sejarah dunia, khususnya sejak abad ke-20, pada dasarnya adalah sejarah anak-anak muda. Revolusi Prancis yang berhasil menumbangkan kekuasaan absolut monarki dan gereja pada abad pertengahan adalah revolusi kaum intelektual muda. Gerakan yang dimotori J.J. Rosseau dan Montesquieu itu mengilhami bangkitnya zaman pencerahan di Eropa.

Di Rusia, Revolusi Bolsevik yang berhasil menumbangkan Tsar Nicholas II dan Dinasti Romanov, penggeraknya juga anak-anak muda. Soekarno tidak sedang mengigau ketika berujar, "Berikan padaku sepuluh pemuda, aku akan mengguncang dunia!" Sejarah membuktikan sejak rajutan awal sebuah negara-bangsa yang bernama Indonesia hingga hari ini peran pemuda tidak pernah sepi. Pada setiap zaman, peran pemuda sangat siginifikan. Bahkan, bisa dikatakan, tanpa pemuda, kondisi Indonesia tidak berubah. Negara Indonesia mungkin juga tidak akan pernah ada tanpa ada peran para pemuda. Makanya, dalam perspektif Indonesia, yang dimaksud Soekarno bukan pemuda yang loyo. Yang bisa mengubah dan mengguncang dunia, kata Soekarno, adalah pemuda yang bersemangat tinggi, cinta sepenuh jiwa terhadap tanah air, dan hatinya terus berkobar. Soekarno memang membuktikan ucapannya. Yang paling nyata: Ia menjadi presiden negara dunia ketiga--negara dunia ketiga adalah sebutan penghinaan yang kita terima dengan tersenyum--yang berani menentang dominasi Amerika Serikat. Ia juga tidak segan-segan "mengganyang" Malaysia (dahulu masih bernama Malaya) ketika harga diri kita sebagai bangsa dilecehkan. Jauh sebelum Soekarno bisa mengucapkan kalimat bernada membakar semangat itu, para pemuda juga sudah berperan menyulam benang-benang keindonesiaan hingga kita memiliki negara-bangsa bernama Indonesia.

Kartini masih berusia 20-an tahun ketika menyuarakan cri de coueura (jeritan hati nurani) yang melawan feodalisme dan kolonialisme pada tahun 1900-an. Begitu juga Dr. Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo ketika mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908, mereka semua berusia 20-an tahun. Lantaran peran yang besar para pemuda pada era revolusi hingga Indonesia merdeka, Ben Anderson dalam Java in A Time of Revolution, Occupation and Resisten 1944—1946 mengatakan pemudalah yang memegang peranan sentral dalam pecahnya revolusi Indonesia dahulu. "Bukan kaum inteligensia yang terasing. Bukan pula kelas-kelas yang tertindas," kata Ben. Yang membuat para pemuda itu mewarnai setiap zamannya tidak lain dan tidak bukan karena mereka memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Para pemuda itu bisa menjadi napas zamannya. Menjadi persoalan ketika nasionalisme itu berjalan "secara tidak seiring" dengan bangunan utuh keindonesiaan.

Menurut saya, bangunan Indonesia sampai hari ini belum benar-benar selesai. Kita sering disergap perasaan nasionalisme sempit dan tergelincir menjadi chauvinistis (cinta Tanah Air yang berlebih-lebihan). Selain berbagai kebehasilannya, Orde Baru saya kira memiliki kontribusi besar dalam mereduksi keindonesiaan dan nasionalisme kita. Sepanjang Orde Baru, kita hidup dalam zaman yang serbaseolah-olah. Seolah-olah kita demokratis, padahal sejatinya kita berada dalam cengkeraman daulat raja (bukan kedaulatan rakyat).

Kita seolah-olah sudah nasionalis karena ketika sekolah selalu mengikuti upacara bendera dan ikut penataran P4, padahal kita tidak pernah belajar secara benar tentang nasionalisme dan keindonesiaan. Karena persoalan keindonesiaan kita belum selesai, maka terjadi kerusuhan Mei 1998 dengan sasaran etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa dianggap sebagai "yang lain" dan bukan Indonesia. Padahal, banyak tokoh Tionghoa yang menjadi tokoh pergerakan nasional Indonesia. Banyak pula orang Tionghoa yang lebih nasionalis dibanding dengan warga negara Indonesia yang menganggap sebagai pribumi dan pemilik sah negeri ini. Keindonesiaan yang belum selesai pula maka lahirlah politik kesukuan yang akhir-akhir ini kembali merebak di mana-mana. Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan pelbagai kerusuhan bernuansa etnis dan agama di berbagai daerah sepanjang sepuluh tahun terakhir, menurut saya, adalah bukti konkret bahwa persoalan keindonesiaan belum benar-benar selesai.

Seperti apakah sebenarnya keindonesiaan kita? Anak SD tentu sudah bisa mendefinisikan dengan fasih tentang Indonesia. Namun, dalam praktek berbangsa-bernegara sehari-hari, kita masih sulit membuat gambaran yang lebih pasti tentang wajah Indonesia. Gambaran ideal tentang Indonesia mungkin tidak akan sama bagi setiap orang. Orang-orang di kecamatan Sapeken (Dari Sabuntan Hingga Sakala) di pulau paling ujung Jawa Timur mungkin akan merasa menjadi orang Indonesia jika listrik sudah mengalir ke pulaunya, tiap hari bisa makan nasi teratur, kemiskinan dan kebodohan tidak mengancam penduduk. Keindonesiaan pada hari ini tentu tak perlu magifikasi.

Keindonesian adalah ideal-ideal yang ada dalam pikiran kita yang kemudian memengaruhi tindakan. Secara sederhana, keindonesiaan kita akan terinjak-injak ketika seorang TKW asal Indonesia diusir atau diperkosa majikan di negeri tetangga. Secara sederhana pula, nasionalisme bisa dibuktikan dengan kebanggaan atas prestasi-prestasi besar yang ditorehkan anak bangsa terbaik. Keindonesiaan adalah soal imagined community. Kita menjadi bernama Indonesia karena kita berada dalam ruang yang sama, dengan nasib yang dahulu sama. Idealnya, nasionalisme dan keindonesiaan harus tetap dirawat dengan baik.

Pembangunan karakter nasional bangsa harus terus-menerus dilakukan. Bangsa Indonesia yang majemuk harus, meminjam istilah Jacob Oetama (2001), senantiasa dengan sadar mengolah kelebihan dan keunggulan dari kemajemukan masyarakatnya sehingga kesatuan kita berada dalam kemacamragaman, persatuan kita berada dalam perbedaan. Kita bisa bersetuju: Makin cepat problem keindonesiaan diselesaikan, makin cepat juga Indonesia bangkit dari keterpurukan. Sayangnya, setelah sepuluh tahun era reformasi bergulir tidak ada satu pun presiden yang benar-benar memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan problem keindonesiaan. Ukuran sederhananya: Tidak satu presiden pun di era reformasi yang benar-benar bisa menjamin rakyat hidup tenteram dan sejahtera dalam pelukan Indonesia. Padahal, cita-cita proklamasi sudah dengan jelas mengamanatkan negara Indonesia dibentuk salah satunya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Menyelesaikan problem keindonesiaan berarti juga menyelesaikan soal kemiskinan dan keadilan. Dua variabel itu nyaris selalu luput ketika membicarakan soal kebangkitan nasional. Untuk menyelesaikan persoalan itu, kita tidak perlu sosok yang Nietszche sebut sebagai "manusia super" (karena "manusia super" bisa berpeluang menjelma diktator). Kita cukup generasi muda berpikir kritis, progresif, visioner, dan mau bekerja keras; bukan orang muda yang apatis, lemah, dan mudah menyerah. Seabad Kebangkitan Nasional menjadi momen yang penting bagi kita untuk merefleksi bersama. Kita harus menyadari tantangan kita hari ini tidak lebih berat ketimbang tantangan seratus tahun silam. Situasi kita hari ini memang sangat berbeda dengan situasi Indonesia seratus tahun lampau. Tetapi, tantangan (cikal-bakal) Indonesia seratus tahun lalu sedikit-banyak hampir sama dengan tantangan kita hari ini. Kini kita tidak dijajah secara fisik, tetapi terjajah kekuatan superhebat yang (mungkin) tak terjamah lewat jejaring internasional, kepentingan politik internasional, "sampahisme" kebudayaan yang sangat sulit dibendung. Tanpa adanya kesadaran bersama--terutama kesadaran dari para pemimpin dan generasi muda--saya pesimistis kita akan bisa keluar dari sergapan penjajahan baru itu. Ya, kita perlu banyak generasi baru yang bisa menjadi pemikir, pejuang, pembaru, dan berkaraker kebangsaan yang kuat.

Kebangkitan Sapeken

Tidak berbeda dari Indonesia, Sapeken yang kita cita-citakan menjadi negara berdaulat juga dibangun di atas kepingan-kepingan harapan. Harapan untuk menjadi manusia yang utuh, yang mampu memenuhi tuntutan hidup.

Sapeken juga dimulai dengan perjuangan melawan penjajah, jika kita sempat bertanya pada orang tua kita, merekapun dulu sempat berhadapan dengan orang-orang Jepang dan Belanda. Mereka bahkan ada yang hidup dalam keprihatinan sehingga harus makan seadanya (makan tongke, lorkon, jantung pisang dan sejenisnya), sampai akhirnya mereka kemudian eksis dan diakui oleh orang Indonesia bagian dari kepulauan nusantara.

Pada perkembangannya, Sapekenpun masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep Propinsi Jawa Timur hingga saat ini. Dan tak satupun dari orang tua kita menganggap itu masalah besar, sehingga harus diusik dan diprotes.

Pada tahun 1970-an Sapeken tersadar untuk bangkit dari kejumudan dan keyakinan animisme, Sulawesi Selatan yang diyakini sebagai ibu kandung yang sah pun akhirnya memberi perhatian, walaupun tidak melalui jalur formal-birokrasi. Kehadiran beberapa orang yang akhirnya dikenal sebagai tokoh dalam pembaharuan keagamaan di Sapeken hampir rata-rata berasal dari Sulawesi Selatan, sebutlah beberapa di antara mereka, H. Bakri, Daeng Sandre, dan KH. Abu Hurairah, yang diikuti oleh angkatan sesudahnya tetap dengan semangat pembaharuan, munculllah Ust. Jamal Sulaiman dan terakhir Ust. H. Ad Dailamy Abu Hurairah dari Persatuan Islam, H. Ahmad Syurkati dan H. Ali Daeng Sandre dari Muhammadiyah, H. Hasan Basri dari Nahdhatul Ulama, dan H. Husin Bakri dari kelompok Ghuraba’ yang tidak menggabungkan diri pada ormas-ormas Islam yang telah mapan.Dan hebatnya, mereka adalah tokoh-tokoh muda pada waktu itu.

Tokoh-tokoh tersebut hadir dalam konteks waktu dan problem yang berbeda, tetapi tetap dengan tujuan yang sama perubahan dan kebangkitan. Semua tokoh tersebut telah berjasa menekan angka buta huruf di Kepulauan, membuka akses putra-putra kepulauan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Masyarakat kepulauan waktu itu bangkit tanpa ada kepedulian Pemerintah baik di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi apalagi pemerintah pusat.

Dalam kerangka perubahan dan semangat pembaharuan, pada saat itu, H. Ad Dailami, sempat bersebrangan dengan orang tuanya yang dikenal sebagai tokoh Nahdhatul Ulama, selain perjuangan beliau untuk melawan rezim orde baru yang memaksakan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila berdasarkan tafsir kekuasaan waktu itu. Sebuah perjuangan yang tidak sepi dari derai air mata, keringat bahkan darah dan siksaan dari penguasa orde baru lewat militer.

Perjuangan H. Ad Dailami dan kawan-kawan akhirnya membuahkan hasil, beberapa pondok pesantren di pulau-pulau yang ada di sekitar kepulauan Sapeken bermunculan yang semula lahir dari kelompok-kelompok membaca Alqur’an di langgar-langgar (masjid) dan dirumah-rumah penduduk. Dan pondok-pondok inilah yang akhirnya berjasa menjadikan masyarakat pulau melek angka dan huruf.

Perjalanan panjang sejarah Sapeken akhirnya menghantarkan kita juga pada sebuah kesadaran, bahwa perjuangan tidak pernah selesai. Dalam konteks waktu yang berbeda kita dihadapkan pada perjuangan untuk menuntaskan problem masyarakat kepulauan yang juga berbeda. Para tokoh perintis kebangkitan Sapeken telah berhasil menorehkan prestasi gemilang dalam konteks menyelesaikan problem mendesak di zamannya.

HIMAS, Cita-Cita Kaum Muda Sapeken

Pada tanggal 24 Februari 2001, Himpunan Mahasiswa Sapeken (HIMAS) lahir dengan semangat perubahan, dan tetap dipelopori oleh kelompok muda yang tercerahkan. Mereka melihat Sapeken memiliki persoalan yang mewajibkan perjuangan untuk ditata ulang, mewajibkan perjuangan untuk diteriakkan, mewajibkan kekuatan-kekuatan muda untuk disatukan dan mewajibkan mereka untuk kembali harus berkorban (keringat, airmata bahkan mungkin darah) untuk memerdekakan Sapeken dari penjajahan, penjarahan, perampokan dan eksploitasi alam.

Sapeken pulau yang kaya dengan hasil bumi dan laut, tetapi masyarakatnya bodoh, miskin, terbelakang, terampas haknya untuk hidup layak, menikmati listrik, mendapatkan informasi, pendidikan, dan kesejahteraan.

HIMAS adalah refresentasi perjuangan anak-anak muda yang menargetkan kebangkitan Sapeken minimal menjadi sebuah Kabupaten dari negara Indonesia yang mengakui mereka, HIMAS adalah sumpah mati mahasiswa Sapeken untuk terus berjuang, menumpahkan segenap tenaga dan fikirannya untuk kebangkitan Sapeken.

Problem Sapeken hari ini yang perlu dijawab adalah kemiskinan dan ketidakadilan. Maka kesejahteraan dan keadilan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar dalam perjuangan HIMAS, mayarakat adil dan sejahtera artinya masyarakat yang mendapatkan penghidupan yang layak, mendapatkan pelayanan publik yang baik dari pemerintah, mendapatkan pendidikan yang bermutu, mendapatkan tenaga pendidik yang berkualitas, bukan tenaga pendidik buangan, mendapatkan fasilitas pendidikan, laboratorium praktek (bahasa, komputer, IPA, dll), mendapatkan sarana transportasi yang manusiawi (bukan kapal barang), dermaga yang tangguh bukan dermaga yang keropos, tenaga medis yang profesional, Sapeken butuh kesejahteraan dan keadilan sebagaimana kesejahteraan dan keadilan yang dinikmati masyarakat Indonesia yang lain.

Masyarakat Sapeken memerlukan rasa aman dari rongrongan makhluk melata kapitalis yang merusak alamnya. Dan sekaranglah saatnya. HIMAS lahir sebagai pertanda dari kebangkitan itu.

Bayi kebangkitan yang bernama HIMAS memang masih sangat muda untuk menjawab persoalan yang demikian kompleks dan kusut, namun HIMAS memiliki energi lintas mazhab dan kelompok, yang apabila disatukan akan menjadi kekuatan ajaib, laksana tongkat Musa yang melawan beribu-ribu ular ciptaan tukang sihir Fir’aun.

HIMAS yang lebih mementingkan kepentingan bersama mewujudkan kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakatnya, dengan bermodalkan fikiran-fikiran yang tercerahkan (raushan fikr) yang selalu diasah melalui forum-forum diskusi di kampus, di organisasi intra dan ekstra kampus yang mereka geluti, menjadikan para aktifis HIMAS memiliki kekuatan yang memenuhi kreteria Soekarno tentang pemuda yang bisa membangun sebuah peradaban besar.

"Berikan padaku sepuluh pemuda, aku akan mengguncang dunia!" HIMAS telah memiliki itu, Ada Minhadzul Abidin, Husnul Aqib, Tahta Amrillah, Umar Hadi, Yanti dan Srikandi-Srikandi HIMAS, ada Husamah berkarya lewat tulisan-tulisannya.

Semoga di tangan mereka Sapeken berubah menuju kebangkitan sejati. Viva HIMAS, Viva Sapeken.

Tidak ada komentar: