PERLUNYA “HIJRAH POLITIK”
DALAM MENYONGSONG TAHUN POLITIK

Oleh : Mu’arif

“Kemarin adalah sejarah. Hari ini adalah realita. Dan esok adalah misteri” (Sejarawan)

“independensi himas bukan berarti a politik ataupun anti politik, karena bagaimanapun himas memiliki tanggung jawab political Question (kecerdasan dan mencerdaskan politik) di kepulauan Sapeken”.


Kita telah berada di penghujung perjalanan tauhun 2008, dan kini sedang menanti pergantian tahun ke 2009. Ketika disebut tahun 2009, para tokoh menyebutnya sebagai “tahun politik”. Ada dua perhelatan besar politik yang berlangsung di tahun 2009 mendatang; pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislative (pilleg). Kita bangsa Indonesia akan sedikit memeras keringat mempersiapkan diri dalam memasuki “tahun politik” itu.

Di akhir tahun ini boleh dibilang sebagai “tahun istimewa” banyak sekali peristiwa besar dalam sejarah khususnya hari-hari besar agama-agama yang waktunya hampir berdekatan. Pertama, hari natal bagi umat kristiani sebagai symbol lahirnya juru selamat ke bumi yang bisa menebarkan keselamatan dan kedamaian bagi pemeluknya. Kedua, peristiwa hijrah Nabi Muhammad bagi umat islam yang diartikan berpindahnya dari masyarakat jahiliyah sebagai symbol keterbelakangan menuju masyarakat peradaban dan berkeadaban.

Indonesia sebagai bangsa yang plural, yang dibuktikan dengan beraneka ragam budaya, bahasa, etnis, suku, ras, budaya, kelompok aliran kepercayaan yang seringkali menjadi pemicu lahirnya konflik horizontal diharapkan mampu menangkap pesan ajaran agamanya masing-masing untuk menjaga keutuhan NKRI. Sebagai bangsa yang menghargai perbedaan, bukankah kita punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika ?

PERLUNYA “HIJRAH POLITIK”

Berbicara masalah politik di Indonesia sampai saat ini masih sangat menarik diperbincangkan, apalagi dalam menyongsong “tahun politik” pemilu mendatang, dimana-mana akan ramai diperbincangkan bukan saja di parlemen atau di kalangan akademisi, tapi juga di warung-warung kopi, terminal-terminal kota, dan lain-lain. Yang membicarakannya pun bukan dari kalangan praktisi dan mahasiswa, tapi juga para tukang becak, para nelayan. Karena secara histories sejak awal Negara ini merdeka, para bapak pendiri bangsa sudah terlibat dengan persoalan-persoalan politis (baca: awal kemerdekaan).

Oleh karena itu, di “tahun politik” ini kita perku melakukan “hijrah politik”. Hijrah politik adalah meninggalkan model politik kotor dan menuju politik etis dan sehat. Memang istilah “hijrah” tidak relevan dipakai dalam term politik di era moderen. Karena peristiwa hijrah merupakan peristiwa sacral bagi umat islam, sementara politik adalah wilayah yang sarat kepentingan. Pada sebenarnya term “hijrah” dipakai dalam tulisan ini karena memang diilhami dari peristiwa sacral dan bersejarah itu, sebuah peristiwa agung dalam sejarah umat islam yaitu ketika Nabi Muhammad saw berhijrah dari Mekkah ke Madinah yang dulunya (Yatsrib) atas perintah Tuhan untuk membangun masyarakat tamadun yang kemudian terkenal dengan “Negara Madinah”.

Sehubungan dengan perlunya “hijrah politik” bagi umat islam di Indonesia dalam menyongsong “tahun politik”, Azyumardi Azra menegaskan bahwa 'Hijrah politik'' berarti meninggalkan politik berorientasi kekuasaan belaka yang menimbulkan praktik politik manipulatif kepada politik yang lebih berorientasi kepada nilai-nilai moral, etika, dan akhlaqul karimah.
''Hijrah politik'' juga berarti hijrah dari praktik politik divisif ke arah politik demokratis berkeadaban. Di Madinah, Rasulullah Muhammad SAW tidak hanya membangun ''kota'' (madinah), dan peradaban (tamaddun), tetapi juga sekaligus ''keadaban'' (madaniyyah).

Karena itu, jika kita mau menangkap dan melaksanakan makna hijrah, salah satu yang terpenting ialah meninggalkan perpecahan. Sebaliknya mewujudkan persatuan politik umat. Persatuan politik itu tidak harus diwujudkan dalam partai tunggal, tetapi misalnya direalisasikan dengan membatasi jumlah parpol Islam. Pada saat yang sama mencegah terjadinya konflik dan perpecahan dalam parpol Islam yang telanjur amat banyak.Harus diakui, jumlah parpol Islam yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 terlalu banyak. Akibatnya, umat terpecah belah ke dalam friksi dan konflik politik berkepanjangan. Bahkan, itu dapat berujung pada kekerasan yang merugikan tidak hanya kepentingan umat, tetapi juga bangsa dan negara. Akibatnya, parpol-parpol Islam gagal menjadi kekuatan yang menentukan dalam kancah politik, bukan hanya pada tingkat nasional, tapi juga pada tingkat lokal -provinsi dan kabupaten/kota.Memang kenyataan menunjukkan bahwa banyaknya partai-partai Islam yang bermunculan secara tidak langsung akan berimplikasi pada masa depan politik dan partai islam dalam pemilu 2009, setidaknya kenyataan seperti itu yang akan dialami oleh partai-partai islam mendatang.


“HIJRAH POLITIK” DAN MASA DEPAN POLITIK KEPULAUAN

Sekali lagi membicarakan politik di Tanah Air di sini tidak terasa adil jika kita mengabaikan persoalan politik di kepulaun Sapeken. Karena, jika mau jujur masyarakat kepulauan sangat antusias ketika membahas politik. Masyarakat kepulaun sapeken pun semakin hari semakin cerdas.

Banyaknya partai-partai pendatang baru, yang menurut istilah Minhadzul Abidin sebagai “partai coba-coba” di kepulauan sapeken merupakan hal yang wajar di alam demokrasi seperti Indonesia, ini semakin menunjukkan bahwa kesadaran dan kecerdasan rakyat terhadap politik semakin meningkat. Artinya, siapapun bebas memilih dan menyalurkan aspirasi politiknya di

partai apa pun tanpa adanya doktrin dan unsur pemaksaan di dalamnya.
Namun yang paling menarik dalam pengamatan saya adalah banyaknya partai-partai pendatang baru itu punya latar belakang sendiri dalam perpolitikan kepulauan, dilatarbelakangi oleh sosio-politik yang bermacam-macam; ada yang dilatarbelakangi karena kesadaran dan hasrat politik masyarakat yang menggebu-gebu, ada pula yang lahir dari kekecewaan terhadap partai-partai yang ada. Kalau situasi perpolitikan di kepulauan ini tidak dikelola secara demokratis, maka akan berdampak pada disentegrasi bangsa dan tentunya masa depan kepulauan Sapeken itu sendiri.

Adanya tarik-menarik kepentingan di dalam politik sudah menjadi rumus di dalam kosa kata politik. Karena itu ada sebuah statemen bahwa “tidak ada kawan dan lawan yang abadi di politik, yang abadi adalah kepentingan” menyadarkan kita untuk selalu hati-hati dan secara cerdas memilih partai untuk dijadikan kendaraan politik. Karena endingnya adalah rakyat yang akan dirugikan. Dengan kata lain, kita perlu kedewasaan politik menuju masa depan kepulauan yang lebih adil dan sejahtera.

HIMAS DAN TANGGUNG JAWAB POLITIK KEPULAUAN

HIMAS sebagai harapan baru diharapkan mampu menjadi wadah pencerahan di kepulaun dalam; bidang politik, pendidikan, hukum, dan lain-lain. Oleh karena itu menurut saya “independensi himas bukan berarti a politik ataupun anti politik, karena bagaimanapun himas memiliki tanggung jawab political Question (kecerdasan dan mencerdaskan politik) di kepulauan. Lagi pula independensi bukan ayat al-Qur’an yang qath’I ataupun al hadits yang dogmatis”. Namun, perlu ditegaskan, gerakan politik himas tidak sampai pada tataran politik praktis.

Membebaskan sapeken dari tujuh penjara politik adalah agenda politik himas. Diantara tujuh penjara politik itu adalah: kekerasan, mitos politik, sakralisasi, kultus individu, penjara histories, ketidak berdayaan warga Negara sebagai actor politik, dan demoralisasi,

Kita perlu merenungkan sebuah hadits nabi “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka dialah orang yang merugi. Dan barangsipa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka dialah orang yang celaka”. (Al Hadits)

Dengan demikian, masyarakat kita dalam menyongsong tahun politik ini tidak lagi gamang dan buta terhadap politik dan tidak lagi hidup di tengah kegaluan. Tahun baru, harapan baru..Semoga !

Tidak ada komentar: