INDEPENDENSI ETIS DAN ORGANISATORIS

Oleh : Rahmatul Ummah

(Alumni HIMAS sekaligus Alumni HMI, Menetap di Lampung)

Sebelum terlalu jauh memasuki wilayah debatable tentang tafsir independensi, saya ingin memberikan beberapa catatan terhadap saudara Minhadzul Abidin (Ketua Presidium HIMAS). Sesuai dengan kapasitas saya yang pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Metro Tahun 2003 – 2004, dan Sekretaris Umum HMI Badko Sumbagsel Tahun 2005 – 2006, sekaligus sebagai instruktur tetap Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dan Sejarah HMI di lingkungan HMI Cabang Metro, HMI Cabang Bandar Lampung dan HMI Cabang Kotabumi.

Mungkin kawan-kawan HIMAS lain akan kebingungan saat membaca paragraph awal tulisan ini, “Apa hubungannya HMI dengan HIMAS?” sama sekali tidak ada hubungannya, selain dari sama-sama sebagai sebuah wadah perjuangan. Hanya persoalannya kenapa saya harus menegaskan itu, karena saudara Minhadz lebih awal menjadikan referensi tentang tafsir independensi HMI dalam tulisannya, sehingga saya merasa perlu menyampaikan beberapa hal, bahwa: Pertama, sepanjang sejarahnya HMI secara organisatoris baru pertama memberikan dukungan politik terhadap partai, yakni Masyumi, sebelum kemudian menyatakan diri independent dan sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. Kedua, HMI akan secara tegas memberikan sanksi terhadap setiap kadernya yang terbukti memberikan dukungan politik praktis secara formal dengan melibatkan organisasi (HMI) terhadap perorangan maupun partai politik, pada Pilkades, Pilkada, Pileg maupun Pilpres (Lihat Tafsir Independensi HMI). Ketiga, pengurus aktif yang memberikan dukungan kepada salah seorang atau salah satu partai sama artinya memberikan dukungan atas nama organisasi, karena akan sangat sulit memisahkan dia sebagai pengurus maupun dia sebagai pribadi, terkecuali dia terlebih dahulu mengundurkan diri sebagai pengurus.

Islam dan Independensi

Independen artinya tidak bergantung, bebas, tidak berpihak terhadap apapun dan siapapun. Independen adalah merdeka untuk bersikap, bertindak, berkata dan berkemauan. Hal ini sejalan dengan misi Islam sebagai agama pembebasan.

Islam hadir untuk membebaskan setiap orang dari penjajahan dalam bentuk apapun, termasuk membebaskan manusia dari ilah-ilah yang tidak berhak untuk disembah, sehingga manusia betul-betul menjadi individu yang merdeka, dan hanya menyembah Allah yang memang layak untuk disembah, tempat bergantung seluruh makhluk. Untuk itu kalimat tauhid lailaha illallah lebih dikenal sebagai kalimat pembebasan.

Dari berbagai tujuan, baik common sense, psikologis maupun etika, manusia mempunyai kebebasan. Dia tidak hanya memiliki kemauan tetapi juga kebebasan untuk memilih tindakannya. Kecenderungan kemauan manusia pada hakikatnya adalah kebaikan, karena manusia mempunyai potensi kebaikan yang dinamakan hati nurani. Manusia memiliki kognitif (daya cipta, rasional) yang bersifat kreatif dan selektif.

Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan untuk memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.

Potensi kebebasan tersebut harus dapat didayagunakan untuk menginternalisasikan sekaligus mensosialisasikan teologi pembebasan dalam Islam tersebut, sebagai spirit bagi produktivitas manusia dalam pembangunan dan melakukan reformasi atau revolusi. Teologi pembebasan harus dapat menjadi ruh gerakan bagi progresivitas manusia yang tercerahkan.

Independensi HIMAS

HIMAS sebagai organisasi tempat berhimpunnya beberapa manusia yang memiliki fitrah independent semestinya secara otomotis akan melahirkan sekelompok manusia yang merdeka dan tidak memihak.

Kehadiran Islam yang diputuskan sebagai asas HIMAS seharusnya mampu mendorong setiap kader HIMAS untuk menegasikan semua kepercayaan dan –isme selain kebenaran. Artinya, tidak ada ketundukan, keberpihakan maupun pembelaan kader-kader HIMAS selain kepada kebenaran universal. Inilah yang saya maksudkan sebagai independensi etis.

Independensi etis adalah sebuah sikap yang dibangun di atas pondasi pengetahuan tentang kebenaran yang luas dan universal, yang mewajibkan setiap orang berpihak pada nilai-nilai kebenaran tersebut, bukan pada kelompok, partai politik, kaum kerabat, bahkan agama atau kelompok agama. Karena kebenaran bisa saja ada dimana-mana.

Bahwa, jika ada monopoli kekayaan oleh pemilik modal, berarti keberpihakan yang harus dibangun adalah keberpihakan kepada kelompok miskin yang berhak juga atas kekayaan tersebut, jika ada warga Negara yang dirampas haknya oleh Negara, maka keberpihakan yang harus dibangun adalah membangun aliansi rakyat untuk kembali merebut hak tersebut. Dan itu adalah jihad!!!

Begitulah independensi etis.

Sedangkan indepensi organisatoris adalah independensi yang dibangun diatas kesepakatan-kesepakan berorganisasi, seperti jika aktif di HIMAS maka tidak boleh merangkap di organisasi lain yang bisa mengganggu kinerjanya di HIMAS, jika terpaksa harus merangkap, dipersilahkan memilih salah satu dari organisasi tersebut.

Untuk sementara seperti itu saja dulu, lain kali akan kita diskusikan lebih lanjut. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: