HIMAS DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SAPEKEN
(Catatan Untuk Menyambut Milad HIMAS)

Oleh : Rahmatul Ummah
(Pendiri dan Alumni HIMAS, Mahasiswa S2 FISIP Unila)

Dalam perjalanan masyarakat kepulauan, pada umumnya lebih banyak terkontaminasi upaya strategis mencari bentuk wajah seharusnya dari Sapeken (harus ada pembedaan Sapeken – Kangean). Seakan-akan kita tidak mempunyai paradigma sendiri untuk menentukan kehidupan, sehingga implikasi ‘gengsi kesukuan’ begitu dominant, mengalahkan tujuan kesejahteraan bersama masyarakat kepulauan.
Di situlah ideologi sebagai suatu paradigma tidak tumbuh sebagai variable control tetapi ia lebih tampil dalam bentuk gerakan-gerakan yang cenderung menampilkan sikap progresif revolusioner. Dan, ini distimulasi dari lahirnya pemikiran-pemikiran para akademisi Amerika Latin, seperti Dos Santos, Johan Galtung, dan yang lebih populer lagi ketika muncul buku Development Under Development yang dikarang Andrey Gundar Frank.
Dalam kaitan itu, tampaknya sangat menarik jika kita melihat tercerabutnya akar gerakan rakyat di Kepulauan, oleh kemunculan gurita kapitalisme yang dibawa globalisasi dan post-modernisme, dengan segala dampak ikutannya. Seperti salah satunya adalah terjadi dikotomis perjuangan masyarakat Kepulauan Sapeken.
Di satu sisi, rasanya terlalu naif jika kita menginginkan post-modernisme memetamorfosis dirinya dan atau setidaknya mengadaptasi dirinya dengan nilai-nilai Islam. Kontradiksi sedemikian terasa. Untuk sebuah karikatur simbul kebesaran umat Islam, globalisasi yang penuh dengan ideologi kebebasan itu telah memunculkan kemarahan rakyat, meski gerakan rakyat itu tak jelas benar di mana arah dan tujuannya, kecuali hanya kecintaan terhadap sejarah kenabian dan nilai-nilai tauhid yang tanpa reserve. Bahwa Nabi memerintahkan untuk berjuang melawan kedzaliman dan tirani kekuasaan korup, serta senantiasa mendampingi kaum mustadh’afien (baca; kaum miskin kepulauan), karena Tuhan berada di tengah-tengah mereka.
Lalu, kalau ditanyakan ke mana arah gerakan rakyat kepulauan (baca; Sapeken) yang diusung gerakan HIMAS dengan tampilan ideologi Islam dan ideologi ketimuran? Pertanyaan ini tidak sedemikian mudah dijawab karena era globalisasi telah memberikan suatu "kekuatan baru" bagi masyarakat yang "baru" pula.
New middle class (kelas menengah baru) yang muncul diusung ideologi kapitalisme liberal sebagai ideologi lebih menampilkan epistimologi sain sosial barat. Ideologi ini mengusung hedonisme, kerakusan, dan keserakahan yang sama sekali tidak melahirkan trical down effect (efek rembesan ke bawah) pada tingkat grass root. Kita dapat menyaksikan betapa pemimpin kita kehilangan ideologi, mereka tampil sebagai pemimpin yang elitis, tidak acuh dengan gerakan masyarakat.
Untuk konteks daerah, jika kita berani menarik kesimpulan, ideology kapitalisme liberal dengan praktek hedonisme, kerakusan dan keserakahan itu telah dimainkan secara maksimal dan dengan cukup menarik oleh Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sumenep, didukung dengan lembaga legeslatif (DPRD), melalui lakon tidak adanya perhatian signifikan terhadap nasib dan kualitas hidup layak masyarakat Kepulauan. Diperparah lagi oleh kroco-kroconya di tingkat kecamatan dengan memangkas uang BLT, menggelapkan sebagian besar jumlah beras untuk rakyat miskin (RASKIN), mengkorup uang honor guru dan lain-lain.
Dalam pusaran ideologi macam itulah kita hampir apriori atau malah pupus harapan terhadap gerakan rakyat kepulauan yang diusung gerakan HIMAS untuk tampil dengan ideologinya yang mampu meletakkan dasar-dasar dan nilai tersendiri bagi suatu idealisme yang bermotifkan pembelaan terhadap rakyat kepulauan. Kalau sudah sedemikian halnya, bagaimana kita dapat menjelaskan gerakan HIMAS dan gerakan rakyat Kepulauan dapat tampil dengan visi yang mengusung kehendak rakyat dan tetap survive.
Tulisan Ketua Presidium HIMAS (lihat kolom ketua presidium) untuk memainkan peran HIMAS di ranah normative lewat gerakan moral dan control sosial, mari kita hormati sebagai pembelaan untuk kemaslahatan. Namun, dalam pusaran itu ternyata gerakan HIMAS dan gerakan rakyat belum mendapat tempat. Dan, karena itu hampir tidak ada respons bagi gerakan mereka, tanpa harus mengecilkan rasa hormat kita terhadap gerakan dimaksud.
Menyadari akan hal ini, mungkinkah gerakan HIMAS di tengah lingkaran dan pusaran ideologi kapitalisme liberal mampu mencari pemahaman dan tampil dalam bentuknya yang faktual dan bermanfaat? Setidaknya ada lima tawaran agar gerakan HIMAS dan gerakan rakyat mampu memainkan peran dalam pergeseran setting sosial dan setting politik liberal.
Pertama, gerakan HIMAS dan gerakan rakyat tetap concern terhadap ideologi yang dibawanya. Bahwa HIMAS harus bermain diranah intelektual, adalah keniscayaan, tetapi bahwa HIMAS juga harus memahami bahwa efek dari komitmen terhadap idealisme dan kebenaran (iman) akan berimplikasi secara otomotis terhadap kerja-kerja kebaikan dan kemaslahatan (amal shaleh). Artinya, kerja intelektual akan senantiasa bersenyawa dengan kerja-kerja pemberdayaan di lapangan (Qs. Al Ashr : 1 – 3).
Kedua, gerakan HIMAS dan gerakan rakyat kepulauan dalam kantung-kantung "ideologi idealis" masih bersemangat mendasarkan gerakannya pada visi yang menumbuhkembangkan sikap akademik dan terhormat.
Ketiga, gerakan rakyat dan atau gerakan HIMAS hendaknya menentukan sikap secara profesional dan proporsional, semisal setiap gerakan mampu mencari jawab problematika riil masyarakat kepulauan.
Keempat, gerakan rakyat kepulauan dan gerakan HIMAS di tengah ideologi kapitalisme liberal, hendaknya antisipatif pula terhadap interdependen, dalam arti satu sama lain mereka menyatukan visi melalui teknologi komunikasi dan mampu membangun jaringan konstruktif di antara jaringan HIMAS (Semisal yang dilakukan oleh HIMAS Pusat dan HIMAS Malang dengan membuat website gratis di blogspot dan multiply; www.himas-revolusi.blogspot.com dan www.himasmalangmultiply.com).
Kelima, gerakan HIMAS dan gerakan rakyat kepulauan, apa pun bentuknya tentulah kita berharap mereka tampil dalam bentuk yang lebih inovatif, konstruktif, dan memahami benar interaksi gurita kapitalisme, liberalisme, dan globalisasi yang dimainkan (entah secara sadar atau tidak sadar) oleh elit kekuasaan di Sumenep.


Dialektika Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan

Berdasarkan beberapa asumsi di atas, bahwa kerangka perjuangan HIMAS harus melalui pemetaan ideology kapitalisme liberal, untuk kemudian melihat secara lebih riil kondisi kehidupan masyarakat Kepulauan. Sehingga, di belakang hari mampu meletakkan gerakan secara lebih tepat, untuk efektifitas dan efisiensi perjuangan.

Kondisi masyarakat Kepulauan Sapeken, secara umum ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti kemiskinan, rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), karena sebagian besar penduduk hanya lulus sekolah dasar, atau bahkan belum tamat sekolah dasar, dan lemahnya fungsi dari keberadaan beberapa kelompok dan lembaga masyarakat yang ada. Akibatnya, sering terjadi lemahnya bargaining position masyarakat kepulauan dengan pihak-pihak di luar kawasan kepulauan, untuk menyebut beberapa contoh adalah, eksploitasi alam oleh perusahaan-perusahaan besar, tanpa Corporate Social Responsibility (pertanggungjawaban social, lingkungan, ekonomi dari perusahaan) yang memadai terhadap masyarakat Kepulauan, bahkan ada beberapa perusahaan yang sama sekali tidak memberikan dampak mamfaat terhadap masyarakat, seperti PT. MAXIMA MUTIARA.

Selain itu, monopoli bahkan tidak hanya terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) kepulauan, bahkan monopoli jabatan-jabatan pemerintahan, perdaganganpun banyak dipegang oleh pihak luar, yang lebih menyedihkan adalah, basis terbesar konstituen partai yang tersebar dikepulauan dan tidak sampai limapuluhan orang di daratan, itupun harus dipasrahkan partainya untuk diurus oleh pihak luar yang tidak punya basis massa tersebut.

Karakteristik social masyarakat Kepulauan Sapeken tersebut, menjadi penghambat untuk mengembangkan kemampuan partisipasi mereka dalam pembangunan wilayah kepulauan. Seiring dengan belum berfungsinya lembaga masyarakat (seperti lembaga keagamaan dan lembaga social) atau bahkan belum adanya kelembagaan social masyarakat untuk mengelola potensi sumber daya wilayah kepulauan.

Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap lambannya arus perubahan social ekonomi yang terjadi di Kepulauan.

Pada titik ini, untuk pembangunan masyarakat kepulauan yang rata-rata nelayan dengan kondisi seperti di atas, agar potensi pembangunan masyarakat bisa dikelola dengan baik , maka salah satu strategi yang harus ditempuh oleh HIMAS adalah dengan membangun dan memperkuat kelembagaan social yang dimiliki (khususnya internal HIMAS) dan jaringan-jaringannya dan mengembangkan kualitas SDM, dengan jalan meningkatkan wawasan pembangunan masyarakat kepulauan, dan keterampilan ekonomi masyarakat dengan mendorong kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah untuk lebih focus terhadap kesejahteraan masyarakat kepulauan.

Pekerjaan di atas harus dilakukan melalui pengorganisasian masyarakat, sebagai upaya sadar, terencana dan sistematis, untuk menggali sumberdaya dan membangun kekuatan kolektif seluruh elemen masyarakat kepulauan, serta mengelola potensi kolektif sumberdaya tersebut untuk meningkatkan kapasitas masyarakat , mengatasi berbagai persoalan kemasyarakatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan social, kemakmuran ekonomi, dan peningkatan kualitas kehidupan yang berbudaya secara berkelanjutan.

Artinya, gerakan HIMAS tidak boleh berhenti di ranah ide. Tapi, setiap gagasan harus mampu menyetubuhi realitas kehidupan masyarakat kepulauan. Ide-ide brilliant kader HIMAS harus memiliki daya tonjok psikologis untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan ‘orang-orang Sumenep’ agar lebih berpihak ke masyarakat Kepulauan. Prinsipnya HIMAS ada karena pikiran dan perjuangannya. BERGERAK ATAU KAFIR. Antiperubahan, antikemapanan, pro statusquo hakikatnya adalah kematian hati dan iman, dan menghianati gerakan rakyat, gerakan buruh, gerakan nelayan, dan gerakan kaum miskin adalah kedzaliman yang nyata. Wallahu’alam. (Papu ngandapuan memonne pangatonan)

Tidak ada komentar: